Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Seandainya Prabowo Memiliki Hati, Ia sudah Menjadi Presiden

26 Juli 2014   20:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 560 0
Tahun 1986 - Filipina. Dua orang petinggi militer Filipina tiba-tiba membelot, menentang hasil pemilihan umum licik dan terekayasa yang - lagi-lagi - memenangkan diktator Ferdinand Marcos menggenapi masa 30 tahun kekuasaannya. Dua jendral tersebut, Fidel Ramos - sekretaris Departemen Pertahanan - serta Juan Ponce Enrille yang menjabat sebagai Menhan, lebih memilih menjadi musuh negara, bergabung dengan rakyat Filipina yang tidak pernah henti bergejolak sejak Beniqno Aquino ditembak mati. Fabiar Ver, kepala Angkatan Bersenjata loyalis Marcos kemudian menjadikan 2 Jendral ini sebagai orang yang paling diburu oleh negara. Sungguh menarik, karena saat itu sekitar 2-3 juta orang turun ke EDSA, sebuah jalan di Manila, membentengi jendral pembelot tersebut dengan pagar manusia dari usaha kejaran Fabian Ver. People power damai pun terjadi. Dua persen rakyat Filipina yang meluapi EDSA berhasil menumbangkan rezim Marcos, dengan damai. Setidaknya ada 3 pihak yang memegang peranan : Rakyat, Gereja Katolik (lewat Kardinal Sin) serta MILITER.

Istri mendiang Beniqno Aquino - Corazon Aquino pun kemudian menjadi presiden pilihan rakyat. Fidel Ramos kemudian menjadi Kepala Staf AB. Lalu ketika Aquino turun, Ramos lah yang menjadi presiden. Ramos adalah Presiden Filipina pertama yang bukan Katolik, tapi tetap diterima sangat baik oleh rakyat Filipina. Bahkan ia termasuk salah satu presiden paling banyak prestasinya pasca Marcos.

Begitupun di Indonesia, rentetan revolusi 1998 hampir-hampir mirip yang terjadi di Filipina. Bedanya adalah kita tidak memiliki Jendral pemberani, jendral berhati nurani. Pada menit-menit akhirpun para jendral masih melindungi rezim. Kasus penculikan 1998 memang masih abu-abu. Tapi yang jelas dan terang adalah bahwa tidak ada jendral Indonesia yang 100% berani menentang status quo. Termasuk dengan Prabowo yang mengaku disuruh atasan untuk melakukan penculikan. Bukankah kalau ia adalah jendral berhati nurani - dan bisa melihat mana yang baik dan mana yang salah - akan lebih memilih jalan seperti seorang Fidel Ramos? Seandainya Prabowo memilih jalan seperti Fidel Ramos - membelot dan bergabung dengan gerakan reformasi, mungkin saat ini beliau sudah menjadi Presiden atau setidaknya pernah menjadi Presiden.

Tahun 2014. Sebenarnya melihat sepak terjang Prabowo pada era reformasi dengan mudah kita kemudian menjatuhkan pilihan. Namun usaha brainwash serta kampanye hitam yang dilakukan timses nya berhasil mendongkrak figur Prabowo sebagai Pemimpin Sejati. Luar biasa banyak rakyat yang terbius dengan keagungan Prabowo, terbukti ia masih bisa meraup 46% suara lebih pada pilpres. Melihat keberhasilan Prabowo menjadikan Gerindra sebagai partai terbesar ketiga di Indonesia, maka bukan tidak mungkin 5 tahun lagi, Ia akan menjadi Kepala Negara.

Tapi, lagi-lagi sayang. Sikapnya dalam menanggapi situasi belakangan ini, sudah meruntuhkan citranya sendiri. Apa yang kerap ia tuduhkan ke pihak lawan ternyata ia lakukan sendiri. Lima belas kali ia katakan akan menghormati hasil pilpres (dan menuding pihak lawan tidak sekalipun mengucapkan) tapi nyatanya ia sedang berusaha mencari jalan apapun untuk menang. Beberapa pidatonya terakhir menunjukkan wajah aslinya, yang selama ini juga ia tuduhkan ke pihak lawan sebagai sebuah pencitraan. Ia telah membuka topengnya sendiri

Seandainya ia berhati nurani seperti Fidel Ramos, ia mungkin sudah jadi presiden
Seandainya ia berhati besar, legowo saat ini, besar kemungkinan ia akan menjadi presiden kelak
Seandainya ia mau mendengarkan hatinya, ia kelak akan menjadi pemimpin besar bangsa ini

Sayangnya, kemungkinan besar satu-satunya yang ia tidak miliki adalah hati

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun