Sekitaran Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta Selatan | Jujur, saya termasuk sejumlah teman, yang tidak kaget dengan tertangkapnya Abdul Qadir Baraja, Pimpinan Khilafatul Muslimin. Sebab, sejak 2010, kami sudah menemukan mereka.
Ketika masih kecil dan belum dikenal, Khilafatul Muslimin, Partai Keadilan (Alm), Hizbut Tahrir menyodorkan Khilafah sebagai pengganti Pancasila. Bahkan, suatu waktu, ada semacam "debat antar mereka" tentang "Siapa yang jadi Khafilah jika Indonesia sebagai Negeri Khilafah Islamiah."
Saat itu, Abdul Qadir Baraja, Presiden PKS, Ismail Yanto, sama-sama "mengklaim dan menyodorkan diri" sebagai Khafilah Khilafah Indonesia. Tahun 2013, ketika gagasan Khilafah "diperkenalkan oleh TVRI" Hizbut Tahir belum membesar, Ismail Yanto tak dikenal, Khilafatul Muslim sudah ada. Saya termasuk yang sangat keras menprotes ke Media, termasuk TVRI yang siarkan kegiatan Khilafah Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir pun membesar dan merambah ke mana-mana.
Sejak itu, Abdul Qadir Baraja dengan Khilafatul Musliminnya konsolidasi dan membesarkan diri di/dari Lampung. Saya sempat beberapa kali ke Lampung untuk menelusuri jejak mereka, namun tak menemukan markasnya. Hanya menemukan jejak di beberapa UPT atau Unit Pemukiman Transmigrasi.
Menolak Lupa
I
10 Juni 2013 yang lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), memanggil Direktur Utama TVRI; peamanggialn tersebut ada hubungannya dengan penayangan Muktamar Khilafah Hizbut Tahrir oleh TVRI
Pada saat itu, TVRI (yang juga adalah LPP milik negara) secara all out menyiarkan (dan juga menyiarkan ulang) Muktamar Khilafah (oleh) Hizbut Tahrir pada Kamis 6 Juni 2013.
Padal Muktamar tersebut, berulang kali, para pembicaranya mempermasalahkan Pancasila sebagai ideologi negara, nasionalisme, dan juga menolak demokrasi; menolak pilar-pilar pemersatu bangsa dan lambang-lambang negara.
Pada saat itu, menurut Komisioner KPI "Kami tidak mau menduga-duga kenapa TVRI bisa sampai menayangkan siaran tersebut. Tayangan itu jelas tidak menghormati bangsa ini, selain itu juga melanggar UU Penyiaran, ..."
II
Direktur Utama Televisi Republik Indonesia Farhat Syukri disebut-sebut memaksa awak redaksi TVRI untuk menyiarkan acara konvensi Partai Demokrat di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Dirut TVRI, Farhat memaksa redaksi agar menayangkan secara langsung konvensi. Awak redaksi menolak paksaan itu, termasuk Direktur Program dan Berita TVRI Irwan Hendarmin.
Hal itu, menuai pro-kontra. Sebagian redaksi beralasan tidak mau melanggar aturan penyiaran dan aturan kampanye serta tak mau menyalahgunakan frekuensi publik. Tapi Farhat ngotot.
Malam itu sempat tegang. Intervensinya keterlaluan. Karena awak redaksi menolak dipaksa, Farhat kemudian mengambil alih kendali redaksi.
Akhirnya, diambil jalan tengah dengan menyiarkan konvensi sebagai siaran tunda. Awak redaksi tak berdaya. Itu intervensi langsung dari Dirut.
##
Jadi ingat, pada waktu itu, dengan nada kesal, diriku sempat menulis di Kompasiana dengan tajuk Tangkap Direktur TVRI Pusat Jakarta; karena menurutku, Direktur LPP milik Negara tersebut ikut menyiarkan dan menyebarluaskan idiologi anti NKRI yang diusung oleh hizbut tahrir.
Tapi, artikel yang berisi kritik tajan dan bentuk kekesalan terhadap TVRI tersebut, dalam hitungan menit (tak lebih dari satu jam, artikel tersebut dihapus oleh Kompasiana; padahal sudah mendekati 1000 orang yang baca).
Opa Jappy, September 2013
###
Kembali ke Khilafatul Muslimin. Ormas Keagamaan ini sejak awal didirikan tahun 1997, sudah mengusung ideologi khilafah. Sang pendiri, Abdul Qadir Hasan Baraja, adalah residivis terkait kasus terorisme pada Januari 1979 dan pengeboman Candi Borobudur tahun 1985, serta memiliki kedekatan dengan kelompok radikal.
Khilafatul Muslimah, setelah "kurang terkenal" dari Hizbut Tahrir, justru melakukan pergerakan yang TSM di area UTP, rakyat kelas bawah, kaum marginal di Lampung. Kemudian, mereka membesar, tapi tak diperhatikan aparat. Dan, ada kemungkinan, dari orang-orang kelompok inilah juga berperan di Jaringan Sumatera dan bebarapa kerusuhan di Lampung.
Bayangkan saja, karena kurang diperhatikan aparat, Khilafatul Muslimin sudah membuat semacam "KTP Negara Khilafah dan Nomor Induk Warga atau NIW; akan digunakan untuk menggantikan e-KTP atau KTP elektronik yang diterbitkan pemerintah Indonesia. Luar Biasa.
###
Dari semuanya itu, kini, jika ada sejumlah flyer, orasi, dan narasi yang bersifat menolak, antipat, dan sinis. bahkan meragukan Pancasila datang dari Soekarno, sebagai Idiologi Berbangsa dan Bernegara; saya juga tak kaget.
Sebab upaya "pengkerdilan" terhadap Pancasila, utamanya Pasca 1998, maaf-maaf saja, telah muncul beberapa tahun terakhir dari sosok-sosok yang itu-itu juga, sambil menyodorkan idiologi alternatif yang bukan asli Nusantara serta datang dari hamparan kosong.
Dan, pernah terjadi pembiaran. Namun, walau sudah ada larangan dan tindakan tegas dari Negara terhadap "Kaum Anti Pancasila," mereka masih bergerak di bawah tanah dengan aneka bentuk dan cara.
Lihat saja, seluruh aksi, terutama di Jakarta, apa serta siapa pun lakukan, dan Anti Pemerintah, maka selalu ada "Bendera Khilafah plus teriakan Pemerintah Kafir." Siapa lagi yang suka lakukan dan teriak seperti itu, selain pengusung dan pengasong Khilafah?
Sehingga, saya pun setuju dengan Menkopolhukam, Mahmud MD bahwa, "Perlu pemberantasan idiologi Anti Pancasiia!" Dalam artian, harus ada upaya bersama, telebih Aparat Keamanan, lebih tegas, keras, terukur, tanpa takut dan gentar mengaplikasikan "Pemberantasan Idiologi Anti Pancasila" tersebut.
Selain itu, ke depan, Negara harus mengembalikan dan menempatkan Idiologi Pancasila sebagai bagian tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan (semua satuan pendidikan) Nasional, Kurikulum, Materi Ajar, Satuan Pelajaran di/pada proses Kegiatan Belajar dan Mengajar atau KBM.
Dengan cara itulah Negara menumbuhkembangkan Idiologi Pancasila di dalam semua hati, jiwa, dan roh Bangsa serta Rakyat Indonesia.
Cukuplah
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini