Depok, Jawa Barat | Ini gara-gara. Gara-gara Ukrania-Rusia, menghasilkan berbagai informasi keliru bahkan opini asal jadi di Indonesia.
Situs Kompas menyebutkan bahwa, "Perang propaganda yang dilakukan Rusia dan Ukraina di media sosial, sehingga muncul berbagai misinformasi, serta hoaks atau disinformasi. Ada sejumlah tren misinformasi dan disinformasi terkait perang antara Rusia dengan Ukraina. Tren yang kerap muncul adalah klaim palsu, termasuk mengenai rekayasa korban"
Apa mau dikata, misinformasi dan disinformasi tersebut, mempengaruhi penilaian Nitizen terhadap konflik Ukrania-Rusia. Bukan sekedar mempengaruhi, namun memunculkan keterpihakan ekstrim pada dua negara yang bertikai, terutama berpihak ke Rusia.
Ketika membaca (di Medsos dan Media Mainstream) narasi keterpihakan berdasarkan misinformasi dan disinformasi tersebut, memang menjengkelkan, tapi tak bisa larang serta melarang, apalagi marah-marah.
Yah, daripada ngomel, mendingan saya jawab dengan tak kalah menohok, yaitu "Jika hanya Tahu Cover dan bukan Tahu Isi, lebih baik diam ya." Gampang khan; tapi, giliran mereka yang marah tak jelas. Padahal, ku hanya katakan Tahu Cover dan Tahu Isi.
Itulah Indonesia, katanya ramah tapi cepat marah; mungkin karena ramah dan marah hanya beda tipis. Lalu apa itu "Tahu Cover dan Tahu Isi?"
Tahu
Tahu, serapan dari tauhu (Hokkian), berarti kedelai terfermentasi, jenis makanan asli Tiongkok sejak lebih dari 2000 BC; bentuknya masih seperti adonan tepung gandum yang ditumbuk, basah atau seperti bubur.
Kaisar dari Dinasti Ming memperkenalkan tauhu (yang sudah dimasak) kepada pasukan yang berperang; itu agar saat bertempur, tentara tidak disibukan dengan memasak. Cukup panaskan dengan api yang kecil atau panas matahari, langsung dimakan.
Sekian abad kemudian, sekitar 160 BC, Pangeran Liu An dari Dinasti Han, memodifikasi "bubur tahu" menjadi seperti kotak. Ini agar tentara (saat perang) dapat makan satu-satu, tak perlu wadah seperti untuk bubur. Ketika masa damai, pasukan bersama keluarga, mereka jadikan atau memperkenalkan "makanan tentara" tersebut untuk semua orang atau rakyat.
Karena sebagai "makanan tentara," ketika pasukan Kubilai Khan menyerang Kediri tahun 1292, juga membawa tahu. Saat pasukan Kublai Khan kocar-kacir oleh tentara Raden Widjaja, mereka pulang ke Tiongkok. Tapi ada yang bergabung dengan Raden Widjaja; mereka inilah yang memperenalkan tahu (juga taoco, kecap, tempe, bakso, mie, dan sejenisnya) ke rakyat Nusantara, khususnya Jawa.
Kini, aneka makanan asli Tiongkok tersebut, sudah merata Indonesia; hampir semua orang suka; apalagi makan saat panas plus cabe/sambal pedas. Sekarang, khususnya di LA, Kampungku, ada gerobak dorong jual tahu isi (tahu + sayuran), jadi makanan favorit jika duduk di teras.
Tahu Cover dan Tahu Isi
Tahu yang ini, bukan makanan tapi bisa "dimakan" kapan dan siapa saja; yaitu sejumlah data, fakta, dan bukti yang menjadi dasar memahami sesuatu. Tahu bisa muncul dari paduan melihat dan baca, serta pengalaman mengalami sendiri; semuanya sebagai masukan atau input, dan tersimpan dalam pikiran; dan sewaktu-waktu diungkapkan sesuai konteks serta sikon.
Pada frame tahu seperti itulah, saya sebut ada "Tahu Cover dan Tahu Isi." Tahu cover (orang hanya tahu cover atau sampul/bungkus), saya maknai sebagai seseorang hanya tahu luarnya, terlihat, dan tak pahami yang sebenarnya.
Sedangkan, "Tahu Isi," saya maknai sebagai mengetahui semuanya, menyeluruh atau (nyaris) holistik tentang sesuatu. "Tahu Isi" muncul dari upaya belajar, baca, doxing, kumpulkan data sekaligus mengupdatenya. Orang yang "Tahu Isi" umumnya ungkapkan "tahunya" itu dengan sistimatis, terukur, serta bersifat edukatif dan mencerahkan.