Sepanjang tahun 2018, peta perpolitikan di Eropa dan Amerika Latin mengalami pergeseran (Tirto.id mengistilahkan tahun 2018 sebagai tahun emas populisme sayap kanan). Di Italia di tandai dengan kemenangan Partai Lega Nord (Populisme Kanan-Regionalis) dan menguasai Senat Italia. Begitu juga dengan Swedia, di wakili oleh Partai Sverigedemokraterna yang berhaluan Nasionalis-Populisme Kanan. Bergeser ke Benua Amerika, dunia dikejutkan dengan kemenangan Jair Borsonaro pada Pemilihan Presiden Brazil. Gaya komunikasi politik Borsonaro sangat mirip dengan apa yang ditampilkan Trump pada saat kampanye Pemilihan Presiden AS. Bahkan, Borsonaro di juluki Trump-nya negara tropis.
Begitu juga dengan yang terjadi di Kolombia yang diwakili Ivan Duque dari Partai Centro Democratico, di Paraguai dengan Mario Benitez (Partai ANR-PC) dan Koalisi Fidesz-KDNPP (Populisme Kanan-Kristen) yang memenangi Pemilu Parlemen Hongaria.
Salah satu isu yang paling menonjol dan menjadi jualan kampanye politisi sayap kanan di Eropa adalah anti imigran dan sentimen agama.
Seperti yang kita ketahui, krisis pengungsi (pencari suaka) dan imigran memuncak pada tahun 2015. Serbuan imigran dari daerah konflik (Timur Tengah dan Afrika) berbondong-bondong memasuki kawasan eropa. Negara-negara anggota Uni Eropa mempunyai sikap dan kebijakan yang berbeda terkait imigran.
Berdasarkan polling yang dilakukan Royal Institute of International Affairs terhadap 10 ribu orang dari 10 negara eropa, lebih dari 55 % responden menyatakan menolak imigran. Penolakan terhadap imigran disuarakan oleh responden dari Austria, Polandia, Hungaria, Perancis, Belgia, Jerman dan Yunani.
Selain itu, beberapa negara juga menunjukkan iktikad baik terhadap imigran, seperti yang ditunjukan oleh Emanuel Macron (Presiden Perancis) dan Angela Merkel (Kanselir Jerman). Bahkan Jerman disebut-sebut sebagai negara yang ramah kepada imigran. Namun, kebijakan Angela Merkel yang menerima imigran tetap menuai pro dan kontra. Kritik yang paling keras datang dari kaum ultranasionalis yang diwakili oleh partai Alternative fuer Deutschland (AfD).
Penolakan terhadap imigran didasari oleh isu keamanan dan perekonomian domestik. Selain itu, persoalan rasial, sentimen agama dan anggapan negatif terhadap imigran muslim juga menjadi motor gerakan penolakan imigran.
Memuncaknya krisis imigran dimanfaatkan politisi sayap kanan untuk meraup simpati. Itulah yang digunakan Trump (isu imigran, komunitas hispanik dan islam) dan yang lain sebagai strategi kampanyenya. Kampanye anti-imigrasi dan propaganda islamofobia menjadi dagangan untuk meraih suara.
Para pengamat politik menemukan kesamaan karakteristik pada strategi yang digunakan politisi dan partai sayap kanan. Yaitu mengobarkan ideologi neo nasionalisme, anti globalisasi, pro pribumi dan pro kebijakan ekonomi model proteksionisme.
Di Eropa, sentimen anti imigran dan anti muslim menjadi isu utama.
Apa yang terjadi di Selandia Baru, sangat erat kaitannya dengan apa yang dijelaskan diatas. Sentimen anti imigran dan anti muslim tidak lagi menjadi dagangan politik, melainkan mengarah ke sesuatu yang lebih mengerikan. Aksi kriminal yang yang menargetkan warga sipil (non-combatan) dan meyebarluaskannya adalah ciri dari aksi terorisme.
Walaupun defenisi terorisme masih diperdebatkan hingga saat ini, tindakan-tindakan terorisme justru mengalami perkembangan. Terorisme lama (old terrorism) bersifat statis, hirarki dan relatif terduga. Sedangkan terorisme model baru bersifat dinamis, terstruktur dan memiliki jaringan global dan sulit diduga. Terorisme ini bersifat lintas batas (transnasional), global dan pola penyebarannya lebih bervariasi, salah satunya menggunakan media online/internet.
Teorisme model baru tidak hanya menyerang stabilitas politik negara, tetapi yang jauh lebih penting adalah menargetkan infrastruktur psikologis masyarakat. Penyebabnya tidak lagi penolakan terhadap kebijakan negara, melainkan sikap anti barat, anti islam, anti imgran maupun anti terhadap sesuatu yang berbeda entitasnya.
Pertanyaannya, jika selama ini terorisme (pasca 9/11) melekat kepada muslim dan negara timur tengah, bisa kah terorisme subur dan melekat di negara-negara eropa yang secara ekonomi politik lebih stabil? Jika ya, apakah gelombang kemenangan kelompok sayap kanan secara tidak langsung melahirkan bibit kebencian sehingga berujung pada aksi terorisme?
Menurut Daniel Koehler dalam "Right-wing Terrorism in the 21st Century: The National Socialist Underground and the history of terror from the far right in Germany", lebih dari satu dekade, Nationali Socialist Underground melakukan pembunuhan, pemboman dan perampokan. NSU menurut Koehler adalah contoh kasus terorisme sayap kanan. Analisisnya yaitu kelompok sayap kanan memainkan ideologi kekerasan hingga aksi terorisme. Inti dari terorisme sayap kanan adalah ritualisasi kekerasan, memberikan batasan yang jelas antara "kita dan "mereka" dan menindas kelompok yang inferior.
Menurutnya, terorisme sayap kanan adalah bentuk lebih lanjut dari kekerasan atas dasar kebencian. Dan yang menjadi targetnya adalah kelompok inferior (minoritas?).