Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Lentera Tua

15 Juni 2022   13:47 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:02 367 24

"Besok aku harus mendapatkannya. Mudah-mudahan masih ada. Uangku sudah cukup. Kalau ada Pak Haji biasanya bisa ditawar lagi.. Bu Haji memang mahal kalau kasi harga..," pikiran Pak Malis menata untuk esok hari. Guratan harapan lekat terhampar di seluruh kulit wajahnya yang sudah mewarnai bumi setengah abad lebih.

Keesokan harinya, hari Minggu pagi Pak Malis sudah meluncur ke gudang pengepul barang bekas. Ia langsung ke tempat di mana menaruh barang yang sudah membuat tidurnya tidak nyenyak itu. Sebuah lentera tua. Sehari sebelumnya barang itu gagal dibawa pulang. Lembaran uangnya tidak mengijinkan.

Kali pertama melihatnya, walau masih di tumpukan barang yang belum tersortir, hatinya sudah tertaut. Lentera tua itu seakan-akan melambai ke arahnya. Minta agar diselamatkan dari tindihan.

Seketika Pak Malis menghampiri. Mengangkat satu persatu benda yang menindihnya. Bak mengangkat seorang bayi, lentera tua itu diangkat dengan sangat hati-hati.

Setelah dicermati bagian-bagiannya, Pak Malis kemudian menyadari kalau lentera itu mestinya sepasang. Ada pasangannya. Semacam lentera antik yang biasa menghiasi gerbang rumah gedongan sezaman VOC dulu. Setelah dicari-cari di seputar tumpukan, pasangannya tidak ditemukan. Namun ia tetap puas walau hanya mendapatkan itu.

"Oh Pak Malis..bagaimana? Oh yang itu..ya? Lentera itu ya... berapa Bu Haji kasi harga?" sapa hangat Pak Haji pemilik usaha pengepul barang bekas. Pekerja keras dari tanah seberang. Siapa sangka berawal dari mendorong gerobak, berkat ketekunan dan kesetiaan pada kerja keras, ia sanggup menguasai dan menjadi raja diraja pada urusan barang bekas.

Pak Malis adalah pengunjung setianya. Rajin berkunjung ke gudang barang bekas milik Pak Haji. Pengepul barang bekas terbesar di kota. Kiriman barang bekas datang dari berbagai kota. Bahkan dari luar pulau.

Kalau jodoh ia akan menemukan barang-barang unik dan antik. Dan itu kemudian dijual lagi setelah sebelumnya dibersihkan dan diperbaiki kalau ada beberapa bagiannya yang termakan usia. Selisih harga yang diperoleh sudah menghidupi keluarganya selama puluhan tahun.

Minggu pagi itu rupanya Pak Malis sedang mujur. Pak Haji memberi harga yang lebih murah dari Bu Haji. Senyumnya pun mengembang, setelah mengucap rasa terima kasih, ia pulang sambil menimang sang lentera.

"Ini lentera langka. Dengan dibersihkan dan dipoles sedikit saja, kau akan laku mahal...," gumam Pak Malis suka cita. Ia sudah bisa menerka hasilnya.

Waktu cepat berlalu. Pak Malis berjualan seperti biasa. Menggelar barang dagangan di trotoar kota. Ada geliat berbeda yang dirasakannya. Barang dagangannya seperti mampir sejenak. Lebih banyak laku dari biasanya.

Tiap barang, tidak memerlukan waktu lama, laku begitu saja. Peminat yang mengunjungi dagangan Pak Malis juga tidak berlama-lama. Sekali dua kali tawar, barang langsung berpindah tangan.

Sebuah multi tester yang baru saja dipinang dari gudang Pak Haji, laku begitu saja. Padahal belum juga sempat mengganti baterainya yang sudah lemah. Seorang pemuda sekolahan menyerahkan lembaran uang tanpa menawar untuk sang multi tester. "Nanti saya ganti sendiri baterainya," ujar sang generasi muda sembari melempar air muka puas.

Lambat laun Pak Malis menyadari. Ada yang aneh. Sejak lentera tua turut dipajang bersama barang dagangannya yang lain, dagangannya selalu saja ada yang membeli. Lebih laku dari hari biasanya. Kawan sesama pedagang mulai memperhatikan gelagat ini. Lebih-lebih apa yang terjadi pada suatu hari.

Hari itu, hari sudah sore. Pak Malis sedang mengemas barang dagangan. Satu persatu dimasukan kembali ke dalam gerobak. Sebagaimana sesama pedagang barang bekas lainnya. Trotoar lebar di pinggir sungai itu, harus terlihat bersih dan asri pada malam hari. Penduduk kota sering melepas lelah di bibir sungai itu.

Pukul lima sore sudah harus bersih. Papan peraturan kota mentereng bertengger tegak mengatakan itu. Petugas selalu datang tepat waktu. Kalau dagangan masih berserakan, petugas berseragam lengkap dengan tonfa, pentungannya, ringan tangan turut membantu. Namun kemudian diboyong ke markasnya. Disita. Begitulah kalau kota besar sedang bekerja.

"Apalah aku ini, sudah kalah sebagai manusia, makanpun menjual yang bekas-bekas. Dan sekarang mengalah untuk memberi makan keluarga orang berseragam dan berpentungan," ujarnya pada suatu ketika.

Untuk mendapatkan kembali barang tersita, ada harga yang harus ditebus. Selain membayar sejumlah denda. Ini semacam bunga-bunga kehidupan yang tumbuh liar di sembarang tempat dan tidak mengenal musim. Terlihat anggun dari kejauhan. Mendapat tepuk tangan dari kursi empuk dan meja marmer orang-orang berdasi.

Pak Kamim, sesama pedagang barang bekas hanya bisa melongo. Menyaksikan pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Barang dagangannya sendiri sudah rapi masuk gerobak. Ia sudah aman. Sudah pukul lima sore. Petugas berseragam baru saja tiba. Pak Kamim sedang menunggu Pak Malis. Ia mengkhawatirkan kawan seprofesinya itu. Ia yakin akan terjadi sesuatu.

Jarum jam pendek sudah seperempat melewati angka lima. Masih ada dua orang pengunjung di lapak Pak Malis. Barang dagangan belum seluruhnya masuk gerobak. Dua orang petugas mondar mandir. Seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan salah satunya ikut jongkok memperhatikan barang dagangan Pak Malis yang sebagian masih berserakan beralaskan terpal.

Padahal seperti diketahui oleh para pedagang lainnya, petugas yang ikut jongkok itu dikenal beringas. Tegas dan tunduk pada aturan. Lebih-lebih pada tulisan di papan peraturan kota itu.

"Ini aneh...ini benar-benar aneh. Mengapa mereka tidak membentak Pak Malis? Mengapa mereka jadi kalem begitu? Bukankah mereka orang-orang yang beringas? Ini sudah jam lima lebih..," pikir Pak Kamim bertanya-tanya sambil berkali-kali menatap tugu kota yang dihiasi bundaran besar penunjuk waktu.

Petugas sisanya yang masih duduk di atas mobil bak, juga terlihat tidak peduli. Mereka tekun mengawasi Pak Malis. Tidak terlihat raut gusar pada wajah mereka. Air wajah orang-orang berseragam itu semuanya datar. Seperti kena sihir. Bukan seperti orang yang akan menumpahkan amarah. Lebih tepat terlihat seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang. Air wajah persimpangan. Air wajah antara sedang bermimpi dan tidak.

Sampai salah satu dari mereka tiba-tiba berujar deras, "Hei...ayo berangkat...kita cek di sebelah Barat... ."

Akhirnya rombongan petugas berseragam itu enyah dari area trotoar. Tanpa ada bentakan dan penyitaan. Dua pengunjung lapak Pak Malis yang terakhir juga terlihat puas dengan barang pilihannya. Terlebih Pak Malis tersenyum lebar sembari sigap mengemas barang dagangan. Kemucik burung kota pada rindangnya pepohonan, seperti bertepuk tangan menyaksikan pemandangan itu.

****

Menyadari perubahan yang dialami, Pak Malis kemudian berketetapan hati untuk tidak menjual sang lentera. Cukup sebagai teman berjualan. Tidak lagi dipajang menyolok mata.

Sudah puluhan tahun Pak Malis menekuni profesi berdagang barang bekas. Rupanya jalan hidup terang benderang yang pernah diimpikan, sedang menghampirinya.

Tiba-tiba saja ia tersentak. Pikirannya melayang pada satu peristiwa beberapa tahun silam. Di pinggiran kota besar bekas persawahan subur. Beberapa lama sebelum ia pindah berjualan ke kota besar. Saat itu hari sudah petang. Sang surya sudah terlebih dahulu pulang meninggalkannya. Ia sedang berjalan pulang dari berdagang barang bekas.

Melintasi sebuah jembatan beton tua. Selebar satu meter, sepanjang  tiga depa. Sungai yang dikenal dalam itu sedang penuh dialiri air. Angin berhembus malas. Rimbun serakan dedaunan kering pohon bambu, semakin mempercepat langkah kaki memilah kulit bumi. Maklum karena Pak Malis pernah sampai dua kali menginjak ular yang juga sedang melintas.

Baru dua langkah meninggalkan ujung jembatan, ia mendengar suara jeritan. Sontak kepalanya berputar-putar. Mencari sumber suara. Sekilas terlihat kepala anak manusia timbul tenggelam terbawa arus sungai.

Sebagai pedagang barang bekas, penyelamat hidup kaum benda bekas, naluri penyelamatan hidupnya spontan menyembur.

Ia langsung berbalik dan mengejar si anak tenggelam. Tangannya cekatan  menyambar sepotong bambu yang tergeletak di pinggir jalan setapak. Menjulurkannya pada gapaian tangan si anak. Beruntung si anak dapat menjangkau ujung bambu. Dan kemudian selamatlah si anak.

Tak seorangpun menyaksikan kejadian petang itu. Hanya suara kencang toa masjid bercampur gemericik air menyapa bebatuan bibir sungai. Dan sebuah senyum mengembang sang bulan sabit dari balik tipisnya awan petang.

Beberapa hari setelah kejadian itu, saat tidur, Pak Malis didatangi mimpi. Mimpi yang menurut kawan seprofesi, menandakan jalan hidup yang cerah. "Kau akan menemukan jalan hidup yang cerah. Terang benderang..," ujar sang kawan kala itu.

Sambil termangu-mangu, Pak Malis masih ingat betul wajah dan tongkrongan si anak kecil yang sudah diselamatkannya itu. Sinar matanya seakan ingin mengumbar ucapan, namun bibirnya tak sanggup berkata-kata. Orang tuanya berkali-kali mengucap rasa terima kasih. Membungkuk-bungkukkan badan seakan bertemu dewa penolong. Tanpa mengimbal apapun. Karena mereka dari keluarga tak mampu.

***

"Braaak.."
Keras terdengar suara tubrukan. Siang hari nan menyengat itu, semakin panas. Dua buah mobil bertabrakan. Satu mobil berusaha menghindar namun menghantam pagar beton pembatas jalan. Posisi mobil sampai berputar berlawanan arah. Orang-orang berhamburan keluar mencari tahu dan beberapa langsung mendekat.

Pak Malis yang jelas-jelas melihat kejadian itu, langsung beranjak memberi pertolongan. Salah satu mobil berpenumpang seorang, segera ditolong keluar. Seorang yang sudah lanjut usia. Wajahnya sudah terlihat dialiri darah segar.

Entah mengapa ketika mereka berpandangan, tangan orang tua itu langsung memegang erat lengan Pak Malis. Pak Malis tidak menghirau. Segera dibopong keluar mobil. Memberi pertolongan pertama dengan meletakkannya di tempat teduh.

Tak berapa lama, orang-orang turut memberi pertolongan. Yang terluka segera diangkut ke klinik terdekat. Polisi kemudian tiba di lokasi dan segera sigap menjalankan tugas.

Orang-orang masih berkerumun. Memberi kabar kepada yang datang belakangan. Hal lumrah yang sering terjadi pada kecelakaan. Orang-orang mendekat hanya sekedar ingin tahu. Kronologi dan kalau-kalau ada famili atau kenalan yang mengalami celaka itu.

Seminggu berlalu, Pak Malis sudah melupakan kejadian tabrakan di seberang lapaknya itu. Ia sedang bersemangat melayani pengunjung lapak. Tanpa disadari, salah satu pengunjung sedang menyorotnya. Iya, dialah si bapak tua yang sudah ditolong saat kecelakaan itu.

Saat pandangan mereka beradu, si bapak tua itu segera melemparkan kalimat. "Terima kasih ya Pak, sudah cepat menolong saya," ujar sang bapak tua membuka percakapan.

"Oh iya.. Sama-sama Pak..Bapak yang kecelakaan kapan hari itu ya? Hampir lupa saya. Maklumlah Pak, berjualan seperti ini, banyak bertemu orang. Dan saya kurang jago menghafal wajah.. Hehe..," sahut Pak Malis berusaha mengimbangi si bapak tua. Maklum, si bapak tua terlihat perlente. Berkemeja bagus dan bersepatu mengkilap. "Bagaimana keadaan bapak sekarang? Sepertinya sudah baik-baik saja..," sambung Pak Malis sambil memperhatikan si bapak tua lekat-lekat.

"Saya Tjokro. Kenalkan nama saya Tjokro Lambing. Orang-orang memanggil saya Pak Tjok," ujar si bapak tua langsung mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

Salam dibalas. "Oh.. Saya Pak Malis. Iya, panggil Malis saja. Senang bisa bertemu bapak lagi," sahut Pak Malis pendek sambil membagi perhatian dengan pengunjung lapak. Ia tak mau kehilangan kesan bersemangat melayani pengunjung. Bisa-bisa tidak makan anak istrinya.

"Bisa kita bicara sebentar?" suara serak Pak Tjok seperti memohon.

"Boleh, silakan. Saya biasa ngobrol dengan siapa saja, di mana saja, berlama-lama pun tak apa," sahut Pak Malis sembari menyunggingkan senyum tanda tidak keberatan.

Ia mulai merasa mendapat kawan bicara yang tidak main-main. Bagaimana tidak, seumur hidupnya, baru kali ini ada orang yang akan ngobrol dengannya mesti minta ijin dulu.

Padahal ia sudah merasa menjadi orang kalah. Apa pentingnya orang kalah? Apa pedulinya orang-orang perlente pada orang-orang kalah? Apalagi dengan manusia petugas berseragam dan bertonfa itu. Mahluk Tuhan yang cukup hidup dengan membentak saja sudah sanggup menghidupi anak istri.

Walau kehidupan kerap membuat otaknya jungkir balik, Pak Malis sadar, bahwa peradaban dibangun bukan hanya dengan otak cemerlang tetapi juga dengan darah dan keringat manusianya.

"Begini Pak Malis..."

Suara Pak Tjokro terputus. Tatapannya jatuh pada tanda lahir Pak Malis. Sebuah bulatan hitam sebesar koin uang kepeng tepat di leher di bawah telinga kiri.

Merasa diperhatikan, Pak Malis langsung meraba tanda lahirnya. "Ada apa dengan tanda lahir saya Pak?" tanya Pak Malis mulai serius. Alis matanya agak terangkat sebelah.

"Iya Pak Malis. Mudah-mudahan kali ini saya tidak salah. Sudah lebih lima puluh tahun saya mencarinya. Kalaupun kali ini masih salah, saya tidak akan menyerah."

"Maksud Pak Tjok?" kejar Pak Malis semakin serius. Entah mengapa pengunjung lapak mulai sepi. Seakan-akan memberi kesempatan mereka untuk fokus berbincang.

"Boleh saya cerita sedikit?"

"Silakan... Silakan..."

"Saya berasal dari kota B. Kami keluarga terpandang. Orang tua kami adalah pengusaha yang berhasil. Dan mereka berdua, ayah dan ibu saya itu sudah lama meninggal. Saya mempunyai seorang adik lelaki. Kami berbeda umur dua belas tahun. Suatu hari bencana memisahkan kami. Ketika adik saya itu baru berumur tiga tahun. Saat kami berlibur di luar kota, bencana itu datang. Bukit di atas Villa yang kami tempati longsor akibat hujan deras yang turun berhari-hari. Villa tertimbun dan sebagian bangunan tergerus  hanyut ke sungai besar di belakang Villa. Adik saya terseret arus. Saat itu malam hari. Tak ada yang bisa menolong. Kami tak bisa berbuat banyak. Bantuan datang sangat lambat. Saya dan orang tua hanya bisa menyaksikkan dia, adik saya itu terseret ke dalam sungai. Sejak itulah tak ada lagi kabar tentangnya. Orang-orang membesarkan hati kami agar ikhlas melepas adik kami. Tapi kami masih yakin kalau dia, adik saya itu masih hidup," terbata-bata Pak Tjok bercerita. Sesekali menghela napas. Pandangan matanya tidak lepas dari Pak Malis. Ia merasa kali ini tidak salah lagi. Ada getaran hebat dirasakannya.

Pak Malis termangu-mangu. Terkesima mendengar tragedi hidup sebuah keluarga dari seorang bapak tua yang sempat ditolongnya.

 Ingatannya kembali pada si anak kecil yang pernah ditolongnya dulu. Saat menolong dan menjulurkan batang bambu, ia sempat merasakan kepengapan akan tenggelam. Mengerikan.

"Siapa nama adik Pak Tjok itu?" tanya Pak Malis ingin tahu.

Lemah Pak Tjok menyahut, "Kami memanggilnya Danan. Namanya Danan Djaja Lambing. Kami dari keluarga Lambing."

Pak Malis terlihat tenang-tenang saja. Walau hatinya sudah mulai bergetar. Sejak memiliki lentera tua itu, ia memang sempat memikirkan arti dari tiga huruf cetak 'LAM' berkelir emas lusuh yang tertera pada pangkal lentera tua itu. Dan keluarga Lambing, semua orang tahu. Keluarga kaya raya dari tanah seberang. Pengusaha berbagai macam jenis usaha. Sering kali namanya disebut-sebut sebagai harapan dan tujuan hidup manusia di muka bumi.

"Apakah lentera itu ada hubungan dengan Pak Tjok?" diam-diam pikiran Pak Malis mengelana. "Mengapa dia memelototi tanda lahirku? Apakah huruf 'LAM' pada lentera itu berarti Lambing? Apakah aku akan dituduh mencuri barang miliknya? Dia pasti sudah sampai mencari orang pintar. Dan mendapati ciri pencurinya bertanda lahir sepertiku. Apakah aku akan ditangkap? Dibui?" pikiran Pak Malis semakin liar. Sinar matanya mulai tak tenang. Sesekali matanya melirik ke arah lentera yang sedang disembunyikan. Lain detik matanya menyapu ke sekitar. Kalau-kalau ada polisi mengawasi.

Kalau benar Pak Tjokro datang untuk menggeledahnya, dan mengambil lentera itu, ia sudah siap. Yang pasti ia merasa aman dan benar. Karena ia tidak mencuri lentera itu. Ia membelinya dari gudang milik Pak Haji. Dan tentu Pak Haji pun harus ikut bertanggung jawab.

Ketakutannya mulai mereda. Tetapi ia tidak rela. Masa kejayaan berjualan barang bekas baru saja dimulai. Sedang dirasakannya. Belum puas meneguk nikmatnya hidup. Bak sedang kehausan dan mendapat kesempatan meneguk segelas air segar, namun baru dinikmati seteguk, air dan gelasnya sudah akan lenyap.

Apalagi belum terpenuhi keinginannya mengumpulkan uang untuk membiayai sekolah anaknya yang sempat putus. Juga rencana untuk sekedar memperbaiki rumah kontrakan tuanya dari lapuk dan kebocoran. Dan sedikit lebih lama memperpanjang masa sewanya. Seakan sekarang ia merasakan benar jungkir baliknya kehidupan. Bukan hanya di pikiran saja. Sekarang sedang di depan matanya.

"Maafkan saya Pak Malis, kalau boleh sekali lagi saya mohon, bolehkah saya tahu, apakah Pak Malis memiliki bekas luka di kulit kepala bagian kanan? Semacam bekas luka yang tidak ditumbuhi rambut," kata Pak Tjokro memecah keheningan.

Pak Malis semakin merasa terpojok. Di kepalanya memang ada bekas luka. Dan luka di kepalanya itu sejatinya sudah tidur tenang selama lebih dari lima puluh tahun. Namun hari ini luka itu terusik. Luka itu bisa memporakporandakan hidupnya. Pak Malis semakin gundah. Apakah artinya semua ini. Apakah hidupnya akan semakin terperosok. Oleh karena lentera itu? Sempat terlintas rasa sesal di pikirannya. Mengapa tidak dijual saja sang lentera itu.

Ia tidak tahu dari mana datangnya luka itu. Mak Jipah, emaknya sendiri tidak pernah bercerita tentang itu. Emaknya terlalu sibuk menjadi pemulung. Bahkan sampai akhir hayatnya, emak juga tidak pernah menceritakan di mana ayahnya berada. Emaknya hanya mengatakan, ayahnya sudah pergi jauh saat ia masih kecil. Sebagai sebuah keluarga melarat, hal semacam itu, urusan silsilah keluarga adalah urusan remeh temeh. Tak penting sama sekali. Ada yang jauh lebih penting dari itu. Yakni urusan perut.

Belum reda kegalauan Pak Malis, kalimat Pak Tjokro berlanjut. "Kalau benar Pak Malis memiliki luka di kulit kepala itu, saya pastikan Pak Malis adalah adik kandung saya. Pak Malis adalah Danan Djaja Lambing. Adik saya yang sangat saya rindukan. Luka di kepala adik saya itu di dapat saat ia  berumur dua tahun, ia sedang berlarian dan terpeleset jatuh. Kepalanya membentur lentera yang belum terpasang. Iya, saat itu kami sedang membangun rumah baru. Darah mengucur saat itu. Dan ayah kami segera membawanya ke rumah sakit. Beruntung adik saya selamat. Tidak mengalami goncangan yang berarti. Terbukti setelah kejadian itu, dia tetaplah seperti sedia kala."

Suasana hening. Pak Malis ternganga. Bibirnya bergetar. Matanya kuat menatap lekat Pak Tjokro. Kemudian dari bibir tuanya meluncur kalimat, "Lentera?"

Segera Pak Tjokro menyahut, "Iya, benar. Danan, adik saya itu kepalanya terbentur lentera. Lentera yang akan dipasang di beranda depan rumah yang sedang dibangun. Saat itu lentera masih tergeletak. Ada sepasang. Oh iya, saya masih ingat. Di lentera itu juga, ayah kami khusus memesan agar diberi nama Lambing. Karena ada sepasang maka satu lentera diberi nama 'LAM' dan satunya lagi diberi tulisan 'BING'. Dengan tinta emas."

Pak Malis masih menguasai dirinya. Lima puluh tahun hidup serba kekurangan, menempa dirinya tidak mudah terbelalak dengan kemewahan. Hingga ucapan Pak Tjokro berlanjut, "Namun sial, saat kami tidak di rumah, hanya ada pembantu saja, rumah kami kemalingan. Pembantu semua diikat. Rumah kami digasak. Satu lentera dicuri. Tinggal satunya akhirnya kami simpan saja."

Selesai mengucap kalimat terakhir, dari dalam tasnya, Pak Tjokro mengeluarkan sebuah photo. Langsung disodorkan kepada Pak Malis. Sebuah gambar rumah yang megah. Berlantai dua. Bergaya eropa. Di beranda depannya, di tiang kiri kanannya terpasang lentera antik. Lentera yang persis sama dengan lentera yang sudah menemaninya berjualan selama ini.

Pak Malis terhenyak. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Namun  degubnya masih terasa sangat keras di telinga. Persendian kakinya seperti lunglai. Perlahan ia melangkah menuju ke tempat lentera disembunyikan. Diambilnya dengan hati-hati. Kemudian ditunjukkan pada Pak Tjokro.

Kemudian lirih Pak Malis berucap, "Saya memiliki luka itu. Luka di kepala sebelah kanan. Selama ini saya tidak tahu bagaimana bisa sampai luka begini. Dan Pak Tjokro ternyata kakak saya..."

Pak Tjokro tak bisa berkata-kata. Bahasa manusia yang selamanya menjadi alat pencair kebekuan, kali ini tak mampu melakukan perannya. Di puncak mujizat itu, hanya air mata dan isak tangis yang menyeruak memenuhi ruang.

Mereka berdua hanyut dalam penjelajahan kenangan masing-masing. Berbagai molekul di udara saling memenuhi dan saling bergerak aktif menautkan diri. Menari-nari rancak berirama harmoni  dalam atmosfir di sekitar mereka.

Sore itu, langit begitu cerah. Kemucik suara alam mendandani dua jiwa yang lama terpisah. Sang surya masih menyisakan ketegasan sinarnya. Menerangi ruang-ruang gelap dalam tiap palung jiwa. Hingga datang bahan sintesis baru menyeruak di antara dua anak manusia itu, "Maaf Pak, apa lentera itu sudah laku?"


-selesai-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun