Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Kutipan Modi Arr

21 Februari 2021   18:45 Diperbarui: 7 Juni 2022   18:03 414 30
"Eurekaa.."

Modi Arr berseru dengan senyum padat mengembang. Kedua tangannya mengepal di bawah meja. Suaranya seperti ditekan agar tidak sampai menembus dinding kamar. Ia tidak ingin siapapun tahu apa yang sudah ditemukan.

Ia juga tidak ingin orang-orang tahu bahwa ia akan bersimaharajalela. Ia akan menyapu habis isi dunia. Ia sudah muak dengan tingkah polah manusia bumi. Ia akan menjadi raja tanpa sebab. Menguasai dunia bagai hantu. Menyumpal mulut-mulut orang sombong.

Iya, Modi Arr bertekad akan memiskinkan manusia-manusia serakah. Membantai kepintaran yang mencincang kemanusiaan. Bayangan Robin Hood sudah di depan mata. Segala hal yang baik-baik sudah disusun rapi. Siaga di pelupuk mata. Pemicunya sudah ditemukan.

***

Meja kayu mahoni tua berkelir merah marun tak jemu menyangga serakan buku-buku. Hampir seluruhnya adalah buku-buku eksakta.

Kalaupun ada jenis buku lain, bisa dihitung. Yang lain itupun tak jauh-jauh dari urusan nalar. Misalnya saja sebuah buku rangkuman pertarungan dua pecatur legendaris dari negeri beruang merah. Anatoly Karpov melawan Garry Kasparov.

Iya, ia menyukai catur. Olah raga pikiran, demikian anggapannya.

Walau jarang sekaliĀ  bermain catur, namun ia bisa membayangkan hingga memahami taktik dari langkah-langkah buah catur kedua dewa catur kelas dunia itu.

Garry Kasparov adalah pecatur kagumannya. Namun pernah dikalahkan oleh mesin komputer saat masih mengamit predikat juara dunia. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu semangatnya tidak pernah padam. Ia selalu penasaran akan mesin berteknologi tinggi itu.

"Aku akan mengalahkanmu wahai mesin sialan....," gerutunya suatu ketika.

Masa sekolah dulu, Modi Arr terhitung pemuda cerdas. Ia menyukai pelajaran yang menguras otak. Tak pelak dalam urusan nalar dan logika ia diakui jempolan.

Dalam kamar kos yang hanya tiga kali empat meter itu, Modi Arr sudah lama membenamkan benih bercampur rasa balas dendam yang tak terperi. Benih itu rupanya akan segera bertunas, tumbuh cepat dan kemudian berbuah. Ia ingin segera mengetahui rasa buahnya.

Satu unit laptop terlihat letih menemaninya siang malam. Sudah banyak rupiah dikeluarkan agar terhubung dengan dunia maya. Sampai akhirnya mimpi itu akan menjadi kenyataan.

Kopi bercampur moka dalam cangkir keramik putih bergambar Chicago White Sox, sisa semalam masih tinggal seperempat. Asbak bambu petung berbibir hitam kena panas bara tembakau, penuh oleh puntung rokok.

Ia memilih merokok berat sejak usaha konstruksi yang dulu diselami, dan sempat berjaya, tumbang dan bangkrut hanya dalam sekejap. Perhitungan bisnisnya meleset. Beberapa diantaranya kena tipu. Bahkan sempat dituduh menipu dan dilaporkan ke pihak berwajib.

Pihak bank tidak ambil pusing. Seluruh hartanya tak mampu memberi perlindungan. Sampai namanya masuk dalam daftar hitam nan gelap dunia perbankan. Hingga ia sempat terlunta-lunta dari satu kota besar ke kota besar lainnya.

Ia sanggup mengibaratkan setiap hembusan asap rokok adalah enyahnya serpihan puing kehancuran masa silam. Kesanggupan yang menyelamatkannya untuk tidak menjadi gila.

Namun kemudian nasib berkata lain. Ia rupanya tidak diperkenankan merokok berat selama sisa hidupnya. Ia tertolong oleh lele. Iya, ikan berkumis yang terkenal itu.

Modi Arr yang dulu bermobil mewah dan bersepatu kulit domba mengkilap itu, sekarang harus mendorong gerobak membantu Bang Tamil berjualan lalapan ikan lele.

Upah dari hasil membantu Bang Tamil itulah digunakan untuk memulai menata hidup baru.

***

Dua hari Bang Tamil tidak berjualan. Dia pulang kampung menghadiri acara kawinan. Ini rupanya saat yang tepat buat Modi Arr melancarkan temuannya.

Sudah berjam-jam di depan laptop. Jemarinya lincah menari di atas keyboard. Sorot matanya tajam meniti layar. Sesekali kepalanya menggeleng. Jemari kirinya cepat menyambar batang rokok. Kemudian mangut-mangut menghela napas.

Sedetik kemudian, telunjuk kanan tegas menghantam tombol 'enter' pada keyboard. Senyum tipis nan menyengat menghiasi wajahnya yang gelap dan berminyak.

"Jala sudah lepas. Coba besok lihat hasilnya...ffuuffghhh.." pikirnya sembari menghempaskan badan pada dipan bersepon yang sudah tidak sintal lagi.

Semalam berlalu. Keesokan harinya Modi Arr sudah di depan laptop. Hanya ditemani kopi panas dan sisa roti pisang semalam.

"Ahh..Ai..ai..lumayan...enam ratus perak...perangkapnya mulus masuk. Tidak terdeteksi. Bank yang lemah. Amanlah... Coba masuk ke bank sialan itu transaksinya luarbiasa..dia sudah banyak makan uangku...apa salahnya aku minta lagi..hmmm...," gumamnya segar bugar. Raut wajah sumringah yang sudah bertahun-tahun lenyap, muncul lagi.

Temuannya manjur. Namun sayang, judulnya mencuri. Tapi ia bertekad tidak berlaku sebagai pencuri. Ia hanya ingin memberi pelajaran agar uang-uang orang yang sudah bekerja keras namun kurang beruntung, perlu dilindungi. Tidak sampai dibantai habis. Seperti yang ia alami.

Prakteknya Modi Arr hanya mengutip seperseratus sen dari setiap transaksi perbankan yang jenisnya bejibum itu.

Mulai dari transaksi pembelian pulsa listrik dan telepon, pembayaran pinjaman, transfer dana, sampai setor tunaipun tidak luput dikutip. Bahkan pengenaan pajak tiap rekeningpun masih dilirik. Luar biasa.

Program racikannya sungguh mujarab. Bisa melenggang dengan leluasa tanpa terdeteksi oleh sistem keamanan yang canggih nan mahal itu. Bahkan sanggup menembus sistem keamanan bank asing.

Setiap angka yang dikutip otomatis masuk ke rekeningnya. Dan pemilik rekening yang dikutip, dijamin tidak merasa kena kutip. Tidak merasa tercubit. Sangat halus. Melebihi halusnya sepoi angin. Karena besaran kutipannya yang sangat kecil itu.

Modi Arr cukup cerdik, ibarat dikutip seratus kali, pemilik rekening hanya kehilangan satu rupiah saja. Apakah mungkin mereka akan mengeluhkan kehilangan serupiah itu? Atau mungkin sepuluh rupiah?

Ia sudah menyiapkan beberapa pundi-pundi rekening. Banjir bandang angka sudah diperkirakan. Ada berjuta-juta transaksi setiap hari. Modi Arr sudah benar-benar menjadi hantu. Jauh melesat meninggalkan strata tuyul.

Kalau seluruh bank besar berhasil ditembus, setidaknya dalam hitungan bulan, seluruh rekeningnya sudah tambun. Angkanya sudah jauh melebihi dari apa yang pernah menjadi miliknya.

Sempat terlintas di benaknya kalau polahnya itu sungguh mengerikan. Tapi ia sudah kadung panas. Walau bertahun-tahun berlalu, dendamnya masih melekat di ubun-ubun. Ia sudah tidak peduli lagi.

***

Sebulan berlalu, Modi Arr terlihat rajin keluar masuk ruang ATM. Mesin yang dulu diakrabinya itu rupanya masih menyukai dirinya. Mesin-mesin itu masih senang dan lancar mengeluarkan lembaran-lembaran kencang. Tidak pernah macet sekalipun.

Setiap keluar dari ruang sempit itu, perasaannya selalu lega. Saku celananya selalu terisi penuh. Ia tidak membawa tas agar tidak mengundang perhatian.

Dalam sehari ia harus menghampiri enam mesin ATM yang berbeda. Semuanya lancar memberi hasil yang sangat memuaskan.

Ini dilakukan agar tidak mengundang kecurigaan pihak bank. Menghindari angka rekeningnya berdigit banyak. Sementara dia tidak bekerja.

***

"Baiklah kalau itu maumu. Kapanpun kau butuh kerja, datanglah lagi.."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Bang Tamil saat Modi Arr pamit untuk memulai hidup yang lebih baru.

Di kota besar yang sudah menjadi tujuannya, Modi Arr sudah menyiapkan semuanya. Sebuah rumah tinggal yang biasa saja. Tidak mencolok. Berlokasi bagus. Jauh dari keramaian. Terbilang aman untuk tempat tinggal seorang pengutip seperseratus sen berpenghasilan jumbo.

Cita-citanya menjadi Robin Hood pun disegerakan. Banyak menyalurkan bantuan dan sumbangan dengan tanpa menyertakan nama.

Seorang sahabat kecilnya yang sudah berkeluarga dan tidak pernah merasakan hidup layak, sampai meneteskan air mata ketika dibelikan rumah dan dimodali berlebihan.

Orang-orang yang dulu menipunya, semuanya dihampiri. Walau beberapa sudah masuk bui, tetap dikunjungi. Dihaturkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya. Oleh karena merekalah, dirinya bisa sampai pada titik sekarang.

***

Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu gawal juga.

Sudah setahun berlalu, api yang dulu kecil itu sekarang sudah bergunung-gunung. Bergelora, lidah apinya mulai membuat hidup Modi Arr tidak nyaman.

Boleh jadi Modi Arr lupa merumuskan formula untuk memadamkan api itu. Padahal api itu sudah berhasil memadamkan api balas dendamnya.

Satu-satunya jalan, ia harus segera menutup semua rekening itu. Karena kalau tidak, angka-angkanya bisa menembus belasan digit. Dan itu akan segera menelanjanginya

Dan kalaupun akan menutupnya, sudah sangat terlambat. Ia akan kewalahan membawa bertumpuk-tumpuk uang. Bagaimana tidak, beberapa rekeningnya sudah menyentuh sebelas digit. Puluhan milyar.

"Alaammaaakk bagaimana ini?" jeritnya suatu sore tanpa sadar di kedai kopi langganan.

Baru berpikir akan melarikan diri ke luar negeri, di kedai kopi itu, tiba-tiba ia sudah mendapat kawan. Dua orang kawan. Satu orang langsung menempelnya. Menggenggam kuat lengannya.

"Sore Pak..Bapak Modi ya? Kami dari Reskrim Mabes...mohon ikut kami ke kantor..."
Disahut kawannya dengan anggukan. Di pinggir jalan besar sudah menunggu dua kawannya yang lain.

"Modiarr kau Paak..." terdengar kawannya yang lain menimpali.

Modi Arr tak bisa berbuat banyak. Di dalam mobil gerombolan reserse itu, pandangannya kosong menembus kaca jendela.

"Akhirnya aku tahu. Mengapa Kasparov mengaku kalah dengan mesin itu.."

------------selesai---------

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun