Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tantangan Penerbit di Era Digital

9 Mei 2011   09:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 131 0
Di Era Digital, dimana literatur sangat mudah didapatkan di dunia maya, berat rasanya untuk dapat "menjual" buku dalam bentuk fisik. Maraknya pembajakan dikarenakan keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap hak kekayaan intelektual membuat industri buku makin terpuruk. Namun, justru beberapa buku lahir dan ditetaskan justru melalui blog, dunia yang membuat industri buku fisik terseok-seok. Sebut saja Raditya Dika misalnya, lewat blognya KAMBINGJANTAN, bahkan lewat social media seperti twitter misalnya, muncul gaya industri baru di dunia "perbukuan". Tentu bukan nama asing lagi bagi tweeple/tweeps (sebutan bagi para penggiat twitter) jika saya sebutkan nama aMrazing, miund, terselubung, atau poconggg, bahkan nama terakhir sempat menggetarkan jagad maya karena lewat tweetnya (post status di twitter) setiap topik bisa jadi trending topik - TT.

Lah kok? kenapa jadi trend begini ya? bukan sastra asli melainkan diary pribadi yang lebih disukai pembaca. Bukankah lewat blog / microblog tersebut mereka bisa membaca keseluruhan isi buku yang diterbitkan? lantas apa yang membuat mereka rela merogoh kocek demi mendapatkan "kumpulan gratisan" itu?.

Ya.. Seru. Hal - hal menarik yang pernah diposting membuat pembaca tidak rela ketinggalan sedikitpun keseruannya. Lantas apa bedanya dengan karya sastra asli, yang dibuat penuh imajinasi, kreativitas, akal, dan penuh "wejangan" itu? Berbeda dengan buku sastra asli, buku - buku kompilasi ini diinginkan karena ada ketertarikan personal yang membuat pembaca sadar atau tidak menjadi "nagih", disamping itu kedekatan personal menjadi alasan lainnya. Jadi, perlu para penulis beradaptasi dengan situasi? Hidup itu pilihan!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun