Dalam dapur yang sempit ini, atap dapur suka bermain hujan. Oleh sebab itu, puisiku selalu basah. Tak terbaca panas. Aksaranya sering menyelinap diantara jabat tangan dingin, serta amplop-amplop berisi panas. Toh, mereka juga tak mau menerima amplop basah. Secara adil, amplop basah berisi air mata, sedangkan amplop panas berisi kertas-kertas yang melemaskan. Jadi tidak perlu tegang-tegang.
Akhirnya kuajak kau di tanah lapang, di halaman rumah kita. Itu pun jika kita punya halaman. Kita tak pandai berhitung. Hanya bisa memetik bintang suka-suka, membiak jadi kata-kata. Siapa yang peduli dengan bintang? mereka hanya tahu bahwa bintang adalah uang. Secara adil uang itu menyinari mata, sedang kata-kata bisa saja mendidih dan tumpah menimpa jantung.
Nah, sekarang silahkan pilih, apakah kau ingin menyelesaikan puisimu? atau dibuang saja bersama-sama. Mumpung ada sungai yang arusnya membuat keram tubuhmu, serta tatapan mata bodoh tentang kemiskinan. Penegak keadilan tak paham tentang puisi kemiskinan. Tapi yakinlah bahwa pasal-pasal keadilan itu dibuat dari puisi kehidupan. Supaya puisimu hidup dan miskinmu mati.