Malioboro yang indah, dipagi menjelang siang, sang surya mulai bergerak meninggi. Udara segar masih sangat terasa, jalan raya tak henti dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. Orang-orang berjalan ramai disepanjang trotoar nan indah, tak ketinggalan para pedagang kaki lima sibuk melayani pembeli.
Ketiga pelancong itu tengah duduk santai diatas kursi yang ada disekitar trotoar, trotoar disepanjang malioboro ini tampak indah karena laksana taman saja. Tio, Adnan, Udin baru saja selsai melahap bubur ayam untuk mengisi energi mereka yang ternyata tak cukup sekedar roti yang tadi mereka makan.
Seperti biasa, mereka berbincang seru tentang kekaguman mereka akan bumi yogya yang sekarang mereka injak. Kepulan asap rokok keretek tak henti mengepul-ngepul dari bibir mereka. Dan mata ketiganya tengah jelalatan menikmati suasana sekitar. “hari ini rencananya gimana?” tanya Udin.
“kita habiskan sepanjang hari ini di sepanjang jalan malioboro aja, kan katanya dari sini jalan terus akan sampai alun-alun.” Kata Adnan. Tio yang asik dengan rokoknya hanya mengangguk setuju.
Merekapun melangkahkan kaki kembali melanjutkan petualangan yang baru dimulai itu. Mesisir jalanan panjang malioboro yang eksotis dan penuh pemandangan indah. Tapi tak lama langkah mereka terhenti disebuah plang tinggi yang memuat peta kota yogya. Mereka langsung menatapnya melihat setiap lekukan garis dimuka peta tentang bumi sejarah itu.
Beberapa orang yang melintas melirik ketiga pelancong itu. Bagi warga pribumi, melihat wisatawan bukan sesuatu yang aneh, tiap hari wisatawan lokal maupun asing mudah mereka jumpai disepanjang jalan malioboro itu. Tapi tatapan kali ini berbeda, mata mereka tidak memandang ketiga pelancong itu sebagai para wisatawan, melainkan tiga pemuda berandal.
Bagaimana tidak, ketiganya memang lebih mirip brandal ketimbang wisatawan. Lihat saja Adnan, selain pakaian switer hitam bergambar tengkoraknya dan celana bolong-bolong, tindik di dagu serta gaya rambut metalnya tak ayal membuat penilaian orang menjadi aneh. Tak kalah dari Adnan, Udin pun tampil garang dengan celana bolong-bolong, kaos oblong hitam, dan deretan tindik dikedua telinganya. Praktis hanya Tio yang bergaya biasa saja, tapi tubuh jangkis nya tetap membuat orang menilai minus padanya.
Tio menangkap tatapan orang-orang itu selintas. Baginya tatapan itu bukan untuk pertama kalinya, dikampus sering juga ia menemukan tatapan persis seperti yang sekarang ia lihat terhadap kedua temannya itu. Tio memaklum prasangka itu, karena prasangka seperti itu juga yang pernah tio rasakan saat pertama kali bertemu dengan Adnan dan Udin. Tapi prasangka itu sirna, setelah lama mengenal keduanya, siapa sangka Adnan dengan gayanya itu adalah seorang mantan ketua OSIS di SMA nya dulu, ia memiliki kecerdasan luar biasa. Dan siapa sangka, Udin dengan tindik ditelingnya itu adalah seorang pejuang kehidupan, ia sejak SMA sampai kuliah sekarang membiayai dirinya sendiri tanpa meminta kepada orangtua, bahkan adiknya yang duduk dibangku SD, udin-lah yang membiayayainya.
***
Ketiganya melanjutkan langkah-langkah kakinya. Sepanjang mata memandang, yang mereka temukan adalah kekaguman dan kekaguman. Bagaimana tidak, selain bangunan-bangunan yang clasik itu, aroma moderen tetap terasa, gabungan keduanya menjadi pesona yang penuh seni. Sementara para pedagang kaki lima berbaris rapih sepanjang trotor tanpa mengganggu laju pejalan kaki atau kendaraan dijalan raya.
Pedagang makanan, asesoris, kaos, batik, dll menjajalkan diri menarik minat yang melihatnya. Harganya yang terkenal murah meriah menjadi bagian lain yang membuat pejalan kaki sekedar melirik. “Kami salah satu yang tergoda ingin membeli kalian, tapi maaf, isi dompet kami pas-pasan.” Mungkin itu kata yang terpancar dari mata-mata 3 pelancong itu.
Mereka berlanjut, melintas cepat, berhenti sejenak, kemudian melaju kembali. Kenarsisan mereka memaksa ketiganya terus jprat-jepretkan kamera yang mereka bawa. Terik matahari mulai terasa, sang surya perlahan menunjukan keganasannya, tapi langkah kaki mereka tak mampu dihentikan.
Tepat didepan sebuah monument mereka sejenak berhenti, beristirahat, duduk dan menarik nafas panjang. Mereka menikmati sebuah bangunan megah saksi sejarah kota ini, sebuah monument yang berada satu kompleks dengan salah satu musium bernama benteng vredeburg dan bersebrangan dengan kantor pos pusat kota yogya.
Monumen yang ada didepan mereka itu dibangun untuk memperingati serangan para tentara Indonesia melawan penjajah Belanda pada 1 maret 1949. Di monument itu berdiri patung-patung para pahlawan yang gagah dengan penuh pesona keikhlasan dan ketulusan akan perjuangan dulu. Ukuran monument itu besar, terdapat enam patung, salah satu diantaranya berupa patung simbol yang sering terlihat dalam pewayangan.
“Cari tempat mandi yuk!!” Seru Adnan yang mulai merasa tidak nyaman dengan badannya yang sudah lengket.
“Iya betul, tapi dimana?? Sepanjang jalan tadi tak lihat tulisan ada wc umum.”
“Udah aja kita cari masjid” usul Tio.
Udin menghampiri seorang pedagang untuk menanyakan keberadaan masjid. Tak lama ia kembali menghampiri Adnan dan Tio yang hanya berdiri saja. “Katanya diujung jalan malioboro ini ada, tepatnya di alun-alun gitu.” Udin menjelaskan sambil menunjuk kearah selatan. Mereka pun melengos tanpa basa basi.
Etss,, tapi tak lama langkah mereka kembali terhenti, kali ini Tio menangkap sesuatu yang menarik. Pandangan Tio tertuju pada sebuah batu dengan arsitek candi berdiri ditrotoar. Saat dilihat seksama, ternyata itu merupakan sebuah monument lainnya di jalan malioboro. Dimuka monument itu terpampang sebuah piagam dari sebuah batu, ternyata itu adalah reklame piagam yang diberikan PBB kepada Indonesia yang menyatakan bahwa batik adalah budaya asli dari tanah Indonesia tertanggal 2 oktober tahun 2009 lalu.
Dan sesuatu yang lain yang menarik, jika diperhatikan disekeliling monument batik itu terdapat lampu-lampu penerangan jalan yang pada bagian bawahnya terdapat tumpukan batu yang dilamnya terdapat motif-motif batik. Tio, Adnan, dan Udin hilir mudik melihat-lihat dan membaca satu persatu. Kabarnya terdapat banyak motif batik disana.
“Ada 24 motif semuanya, seperti; ciptoning, gringsing, grompol, ksatriyan, kawung, parang, truntum, dan masih banyak lagi.” Kata seorang pedagang yang berada disekitar monument menjelasakan saat ditanya ketiga pelancong itu.
Setelah bergaya didepan monument batik untuk direkam kamera, tubuh mereka kembali protes minta dibasuh, dikucuri air segar. Tio cs, tak membantah, mereka siap menuju masjid di alun-alun sana.
to be continue..