Junyo Maru merupakan kapal kargo berbendera Jepang yang dibuat di Glasgow tahun 1913 oleh Robert Duncan Co. Berat kapal ini 5.065 Ton, panjang 405 kaki, dan lebar 53 kaki. Berkali-kali kapal kargo ini berpindah kepemilikan dan nama sebelum akhirnya menjadi milik Jepang. Kapal ini pada tahun 1913-1917 dimiliki oleh perusahaan Lang & Fulton dan diberi nama “Ardgorm”. Pada tahun 1917-1919, kapal ini dimiliki oleh Norfold North American Steam Shipping dengan nama baru “Hartland Point”. Kemudian kapal ini kembali berpindah kepemilikan kepada Anglo-Oriental Navigation Co. Ltd, yang berkantor di Liverpool pada tahun 1919-1921 dan kapal ini mempunyai panggilan “Hartmore”. Di tahun 1921-1927 kapal ini dimiliki oleh perusahaan asal Jepang Sanyo Sha Goshi, Kaisha, kapal ini diberi nama “Sureway”. Kapal ini berubah nama menjadi “Junyo Maru” ketika dimiliki oleh Karafuto Kissen K.K., Tokyo, pada tahun 1927-1938. Namun kemudian berubah nama lagi menjadi “Zyunyo Maru” pada 1938-1944 saat dimiliki oleh Baba Shoiji K.K., Tokyo. Tetapi arti kapal “Zyunyo Maru” tetap sama seperti “Junyo Maru” hanya berbeda ejaaan saja.
Tenggelamnya kapal Junyo Maru adalah salah satu insiden terbesar dalam Perang Dunia II. Peristiwa naas itu bermula ketika pada tanggal 15 September 1944, Junyo Maru berangkat dari Tanjung Priok menuju Padang. Junyo Marumengangkut sekitar 6500 orang yang terdiri atas 2300 orang tahanan perang (Prisoner of War) asal Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia serta 4200 orang pekerja paksa asal Jawa. Para tahanan perang ini diangkut dari penampungan militer Jepang di Batavia dan Kampung Makassar. Orang-orang ini tidak mengerti mereka akan dibawa kemana oleh Kapal Junyo Maru, ada yang beranggapan bahwa mereka akan di bawa ke Thailand dan Jepang. Tujuan mereka dibawa ke Padang adalah untuk menjalani kerja paksa membangun jalur kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung sepanjang 220 Km. Dalam kondisi lapar dan haus mereka menunggu giliran untuk naik ke kapal, di pagi hari tanggal 15 September 1944. Di dalam kapal para tawanan dan pekerja romusha Jawa sangat menderita, karena ruang gerak mereka di dalam kapal sangat terbatas. Hal itu terjadi karena tentara Jepang membuat ruangan lain antara lantai dek dan langit-langit dek dengan menggunakan bambu agar para tawanan dan pekerja paksa Jawa itu dapat tertampung seluruhnya. Tidak hanya ruang gerak mereka yang terbatas, bahkan makanan, air, toilet, dan udara tidak dapat mereka pakai secara leluasa. Untuk toilet, yang dipersiapkan hanya beberapa kotak yang diletakkan di sisi kapal, karena jumlah kotak yang terbatas, maka para tawanan dan pekerja paksa Jawa harus mengantri jika ingin buang air.
Di tengah keterbatasan dan siksaan suasana seperti itulah para pesakitan Junyo Maru akhirnya harus menghadapi neraka perang yang mengerikan. Pada tanggal 18 September 1944 pukul setengah enam sore penderitaan para penumpang Junyo Maru makin berlipat ganda, seperti di jelaskan oleh Hans Luning dalam memoarnya sebagai berikut :
“Sekitar setengah enam pagi kami terbangun karena kilatan cahaya dan guncangan seisi kapal. Pada awalnya saya pikir itu ledakan boiler. Kami melompat bebarengan berebut menuju ke dek. Beberapa detik setelah ledakan pertama, gelegar ledakan kedua menyusul. Asap mesiu menerpa kami. Sirene kapal meraung menyadarkan kita bahwa kapal telah terkena torpedo. Suasana panik. Kapal kami masih tinggi di air, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, saya melompat ke laut.”
Willem Wanrooy juga memberikan kesaksiannya yang dimuat dalam Veterans Outlook, Official Publication of Brotherhood Rally of All Veterans Organization, March/April 1988. Ia menceritakan sebagai berikut:
“Aku berdiri di geladak, ketika sentakan pertama mengguncang kapal, lalu aku mendengar tentara Jepang melalui pengeras suara ‘tenang . . . tenang’. Kemudian sentakan kedua kembali kurasakan, kali ini tepat berada di bawah kakiku, lalu beberapa orang berteriak ‘torpedo … torpedo’. Beberapa orang langsung melompat ke laut, dan ada juga yang berusaha melepaskan perahu kecil atau sekoci yang ada di kapal Junyo Maru untuk menyelamatkan diri. Aku sendiri kemudian mencoba membantu beberapa orang yang berusaha keluar dari tahanan. Tak lama, aku pun langsung terjun ke dalam air dan berenang menjauhi kapal Junyo Maru, aku menoleh ke arah kapal itu, yang kulihat Junyo Maru mulai tenggelam perlahan-lahan dan aku juga mendengar teriakan-teriakan yang berasal dari kapal itu.”
Peristiwa mencekam yang terjadi secara mendadak itu sontak membuat semua orang di atas kapal panik dan bertanya-tanya, “Apa yang terjadi sebenarnya?”. Ternyata biang kekacauan itu adalah karena dua hujaman torpedo yang ditembakkan kapal selam H.M.S Tradewind, milikangkatan laut Kerajaan Inggris. Buruknya komunikasi diduga sebagai sebab kapal Junyo Maru di torpedo oleh H.M.S Tradewind. Komandan kapal H.M.S Tradewind mengira Junyo Maru adalah kapal perang Jepang, tapi ternyata bukan. Dari 2300 orang tawanan perang asing, yang selamat hanya 680 orang. Sedangkan dari 4200 pekerja paksa asal Jawa yang selamat hanya 200 orang. 880 orang itu kemudian diangkut menuju Padang dan selanjutnya ke Pekanbaru untuk memulai pembangunan jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Sijunjung atau yang masyur disebut “Pakan Baroe Death Railway” sejauh 220 Km.
Beberapa monumen dan tempat untuk mengenang para korban yang meninggal dalam peristiwa tenggelamnya Kapal Junyo Maru kemudian dibangun di beberapa tempat seperti Monumen Junyo Maru di pemakaman Leuwigajah di daerah Cimahi dan Monumen Loenen di Belanda. Tidak hanya itu, pada tanggal 4 Juni 2000, juga dilakukan upacara penghormatan di laut tempat tenggelamnya Junyo Maru, yaitu di perairan barat Muko-Muko Bengkulu dengan meletakkan karangan bunga di titik tenggelamnya Junyo Maru.
Sumber :