Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Jalur Maut Pekanbaru - Muaro Sijunjung

30 Juli 2011   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:14 921 2

Death Railway merupakan sebutan bagi tiga jalur kereta api yang ada di Asia. Pertama adalah jalur kereta api Bangkok-Rangoon yang mempunyai panjang kurang lebih 415 Km. Kedua jalur kereta api Saketi Bayah di Banten, yang mempunyai jarak kurang lebih 89 Km. Kemudian yang ketiga dan yang akan sedikit dibahas dalam tulisan ini adalah jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Sijunjung yang mempunyai jarak sekitar 220 Km. Ketiga jalur kereta api tersebut dibangun pada saat Jepang menguasai Asia Tenggara dalam kurun waktu tahun 1942 sampai dengan 1945. Ketiga jalur kereta api tersebut dibangun sebagai salah satu strategi dan cara tentara Jepang untuk mempertahankan, meluaskan daerah jajahan mereka dan mempermudah mengeruk sumber daya alam yang ada di Indonesia, khususnya. Jalur-jalur ini mendapat sebutan death railway karena jumlah korban yang meninggal dalam pembangunan jalur ini tidak sedikit.

Jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Sijunjung dibangun oleh Jepang bertujuan menghubungkan bagian barat Sumatera dengan bagian timur Sumatera untuk mempermudah perpindahan pasukan tambahan tentara Jepang yang didatangkan dari Singapura. Selain hal itu, tujuan lain dibangunnya jalur kereta api ini adalah sebagai salah satu cara untuk mengangkut batubara dari Tapui menuju Pekanbaru untuk kemudian dibawa ke Singapura dengan kapal. Jepang bisa membangun jalur ini karena telah mempelajari arsip tentang rencana pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan pantai barat dan timur Sumatera yang tersimpan di Nederlands-Indische Staatsspoorwegen (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda). Pembangunan jalur kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung dimulai pada bulan Maret 1943. Proses pembangunan jalur kereta api ini dilakukan dengan cara memasangkan rel di dua kota titik pembangunan awal, yaitu Pekanbaru dan Muaro hingga bertemu di titik tengah keduanya. Rel-rel yang digunakan didatangkan dari daerah lain, begitu juga beberapa lokomotif didatangkan dari Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).

Hampir sekitar 100.000 romusha yang terlibat dalam proyek ini didatangkan dari Jawa, dan sisanya diambil dari penduduk sekitar serta kota di Sumatera seperti Medan dan Bukittinggi. Selain romusha, pekerja yang terlibat merupakan tahanan perang (Prisoner of War / POW) asal Amerika Serikat, Australia, Belanda, Selandia Baru, dan Inggris yang berjumlah lebih dari 5.000 orang. Sebelum dibangun, jalur kereta api ini telah banyak memakan korban baik dari romusha atau tahanan perang. Para romusha dan tahanan perang telah banyak yang tewas saat perjalanan menuju Padang dan Pekanbaru karena kapal yang membawa mereka menuju kedua kota tersebut tenggelam ditembak kapal-kapal sekutu. Kapal Junyo Maru yang membawa 6500 romusha dan tawanan perang yang diberangkatkan dari Tanjung Priok, tenggelam di barat perairan Muko-Muko Bengkulu setelah ditorpedo oleh kapal selam Kerajaan Inggris HMS Tradewind. Hal itu mengakibatkan sekitar 5620 romusha dan tawanan perang yang ada di kapal itu tewas. Kapal kedua adalah kapal Harukiku Maru yang ditembak di Selat Malaka, dalam pelayaran dari Belawan menuju Pekanbaru.

Para pekerja yang ikut dalam proyek itu sangat menderita, selama membangun jalur kereta api ini. Mereka mendapat perlakuan yang buruk dan kasar dari para tentara Jepang,  belum lagi kondisi alam yang masih liar, dan penyakit tropis seperti malaria, diare, dan disentri. Perlakuan yang diterima para romusha asal Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia, berbeda dengan para tahanan perang yang berasal dari negara lain. Para romusha mendapat makanan yang lebih sedikit dari para tahanan perang. Tidak hanya itu, perawatan medis yang mereka dapatkan pun tidak baik, sehingga para romusha yang sakit dibiarkan meninggal di pinggir rel kereta. Pada awalnya, para romusha ini dijanjikan mendapat makanan dan uang yang cukup dalam pembangunan jalur ini, namun hal itu tidak terjadi saat mereka mulai bekerja. Menurut alm. H. Rosihan Anwar, jumlah korban yang tewas dari tahanan perang berjumlah 2.596 orang sedangkan dari 100.000 romusha yang hidup sekitar 20.000 orang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun