Hal yang mendesak dan lebih penting dilakukan adalah membuat remaja dan ABG kita tersita waktu untuk sibuk belajar dan kerjakan pekerjaan positif lagi maanfaat. Bila ruang ini tidak ada jangan bermimpi hanya sekedar belajar keahlian agama lalu mendadak orang jadi baik. Nilai-nilai adiluhung agama perlu tempat persemaian yang kondusif. Sehebat apapun varietas bibit tanaman padi unggul tak akan bermaanfaat di lahan pasir berbatu tanpa nutrisi. Apa yang terjadi pada remaja bukan murni dari mereka melainkan ada sumbangan dosa lalai generasi tua.
Keimanan yang dipaksakan represif hanya akan menghasilkan kesalehan sosial bukan ketaatan pribadi (hakikat-makrifat). Kesalehan sosial ini hanya hasilkan ketaatan "Tuhan semu" alih-alih sekedar ketaatan pada komunitas atau kelompok (kepatuhan pada apa kata kelompoknya). Sweeping anarkis sebuah kelompok atas kelompok lain adalah contoh hasilnya. Pada tataran lain, saat penetrasi power kelompok melemah (merasa aman) penyandang ketaatan sosial ansih rentan kembali jadi pendosa. Ingat kasus oknum anggota DPR dari sebuah partai religius yang menikmati film biru via komputer tablet saat sidang di Senayan beberapa waktu lalu? Orang tidak diajari beriman dan beragama secara dewasa melainkan tergantung penuntun. Saat di Bangkok, Thailand saya jumpai masjid-masjid tak memasang loudspeaker keluar untuk panggil-panggil jamaah sholat fardhu tapi jamaah penuh datang pada saat yang sama untuk berjamaah. Hal yang sama dituturkan beberapa temen yang pernah tinggal lama di Inggris, Belanda, dan Australia. Ini bentuk keimanan dan beragama yang dewasa; tak perlu tunggu orang lain atau instruksi untuk berbuat.
Btw: belajar agama setuju wajib tapi berlakukan dalam ranah keluarga. Ini jadi kewajiban masing keluarga dan bukan dipaksakan oleh sistem positif negara atau kekuatan "premanisme" apapun. Ada teman yang pernah bertanya, "Tapi tanpa paksaan sistem hal itu sulit." Saya cuma menjawab,"Surga memang sulit dicapai/ tidak mudah. Jangan bermimpi sekedar cuma-cuma."