dak selalu  identik dengan kebutuhan perut ansih. Kemiskinan dan kefakiran tak hanya terhubung oleh sekedar variabel perut lapar.  Perut lapar tentu karena tak ada biaya, tak ada biaya karena tak ada kerja, tak ada kerja karena tak ada peluang kerja, tak ada peluang kerja karena tak ada iklim kerja, tak ada peluang kerja karena amil zakat 171 T/ tahun tak berusaha membuatnya. Sudah saatnya alokasikan buat zakat produktif. Apa contoh: bikin hutan rakyat, bikin waduk buat atasi kekeringan dan potensi budidaya karamba, sulap lahan tidur di luar Jawa buat pertanian rakyat, bikin KUD penampung beras, kedelai, dll. Pasang sumur2 bor di daerah kering, reboisasi tanaman tahan kering di Indonesia Timur (kenapa tak mencoba tanam kurma di Sumba?), bikin jalan raya pemutus keterisolasian, dll.
Ada banyak alternatif saat kita berpikir bahwa kemiskinan sekedar dampak dari aneka variabel keadaan yang bikin masyarakat miskin. Ini jauh maanfaat daripada sekedar bagi zakat dengan mengumpulkan umat miskin buat berdesakan ampe mati buat antri sembako. Pembangunan mental masyarakat juga tak beranjak lebih baik melalui sistem ini. Indonesia membutuhkan orang-orang bermental kaya bukan mental miskin. Mental kaya membuat orang mudah berderma sedangkan mental kemiskinan membuat orang tak peka lingkungan, individualis, hingga biang nepotisme dan korupsi. Mental miskin bikin orang terus merasa miskin sekalipun pundi-pundi telah berjibun.