Bicara  tentang bus kota, di Tamil Nandu semua bus kota dari bentuk, ukuran, model mirip bus bandara di Sukarno Hatta; yang ngelayani penumpang pesawat dari turun pesawat sampai terminal kedatangan. Super gede dan bahkan ada yang gandeng panjang seperti Trans Jakarta. Tapi kondisi bus kota memang rada abal-abal, mirip metromini Jakarta sebelum era Jokowi dengan jendela lebar-lebar tapi kaca entah ke mana, serta pintu selalu terbuka menanti penumpang masuk. Tapi jangan buru ngetawain. Di antara keterbatasan fisik kendaraan, mereka masih ada unggul karena bus kota mereka menggunakan bahan bakar gas jadi ngga berasap seperti di tempat kita.
Di antara kursi berjajar yang semua menghadap ke depan selalu ada satu kursi kecil menghadap samping. Kursi ini di sebelah pintu belakang. Ngga ada orang minat duduk walau penumpang padat ngga kepalang. Ternyata itu kursi khusus buat kondektur biar nyaman ngitung kembalian uang. Luar biasa jadi teringat di Thailand juga ada kursi kosong. Tapi kalau di Thailand kursi kosong itu khusus buat pendeta Budha. Nah, hebatnya lagi kalau kondektur ngga keliling setiap penumpang baru masuk langsung ngantre ngebayar ke kondektur lalu kembali ke posisi asal. Kalau penumpang penuh tak terkira mereka bayar melalui tangan ke tangan mengalir tanpa terkorupsi. Uang kembalian juga meluncur hingga sekoin-koin kecilnya komplit.
Tapi yang lebih menarik adalah tentang kursi penumpang. Rupanya kursi penumpang sebelah kiri buat khusus penumpang perempuan sementara sebelah kanan buat laki-laki. Tanpa tulisan tanpa tumpahan umpat mereka disiplin walau penumpang membeludag Tapi menarik bukan berhenti di sana. Penumpang perempuan boleh duduk di kursi laki-laki saat kursi perempuan penuh sementara kursi laki-laki ada kosong. Tapi pengecualian demikian tidak berlaku bagi laki-laki. Saat kursi laki-laki penuh tak pernah ada laki-laki minat duduk di kursi perempuan (walau kosong). Mereka memilih berdiri. Sebuah aristokrasi penghormatan pada perempuan dengan citra rasa tinggi; di tengah tingginya angka kejahatan terhadap perempuan di luar wilayah Tamil Nandu.
Tapi walau orang Tamil berusaha menghormati perempuan di bus kota bukan berarti sistem sosial mereka tanpa persoalan. Kadang-kadang tradisi bikin sistem jadi rumit juga. Saat kursi lelaki ada kosong belum tentu juga perempuan mau duduk. Mereka hanya mau duduk bila di sampingnya perempuan, lelaki kerabat, suami, pacar, atau setidaknya rekan yang dikenal. Etiket lady first ngga berlaku pada tataran demikian: setengah mati lelaki memberikan kursinya ngga akan diambil. Tradisi Tamil membuat perempuan enggan bersebelahan dengan lelaki asing. Tapi sekali lagi ini bukan sistem sederhana melainkan sangat rumit. Ketika seorang  laki-laki dari negara lain duduk tampak  berbeda ras dan warna kulit naik bis kota mendapat perlakuan berbeda. Penumpang perempuan bersedia duduk berdampingan. Hei mereka bukan rasis melainkan sekedar terdera kerumitan tradisi. Seorang pengajar NITTTR yang mengajar saya di sebuah shortcourse mengatakan bahwa Perempuan memang berhati-hati berdampingan dengan orang asing. Tapi terhadap  orang asing yang benar-benar tampak orang asing seperti orang bule Eropa, Timur Tengah, Afrika justru tidak mejadi masalah. Mereka lebih aman dari gossip dibandingkan dengan  orang asing yang berwajah mirip mereka.
Tapi apapun yang ada bus kota di Tamil Nandu memang tak ubahnya oase gurun pasir. Ada aneka ambiguitas tradisi terjadi carut marut berlalulintas bersilang dengan disiplin membayar, tradisi relasional jender dengan fungsional-modernitas. Jadi rupanya Bus kota di Tamil Nandu bukan sekedar sarana transportasi biasa melainkan sebuah opera kebudayaan di atas roda berjalan.