Belum lekang dari ingatan, berapa waktu lalu sebuah stasiun televisi demikian gencar menyuguhkan siaran langsung plus siaran tunda pernikahan sepasang artis berhari-hari mulai prosesi lamaran hingga bulan madu. Sebuah acara yang boleh dibilang lebih mirip sebagai sebuah pertunjukan aurat kemewahan kota. Pemirsa mungkin tak menyadari betapa acara pernikahan ini adalah perhelatan media massa. Aneka sisipan iklan di sela-sela atau yang betebaran yang diramu dalam kemaasan professional even-organizer tentu menjadi sumber pundi-pundi pendapatan signifikan. Bukan pernikahan penjaga adat, bukan tokoh keraton, bukan tokoh sentral pemerintahan, bukan orang penting dalam proses pembangunan, bukan siapa-siapa. Lalu apa maanfaat edukatif bagi pemirsanya? Tentu mempertunjukkan hal demikian menjadi hak media maupun individu terlibat namun pertanyaan penting dijawab adalah adakah punya sedikit sensitif sosial bagi dampak psikologis timbul pada pemirsa? Siaran kemewahan dengan durasi tidak wajar (ada yang menghitung hingga 14 jam non stop) belum termasuk siaran ulangnya tentu rentan berkembang menjadi suguhan hipnotisme yang mampu menyihir bahkan orang tidak miskin pun jadi merasa miskin seketika.
KEMBALI KE ARTIKEL