(Om-G: Seri Ergonomi Terapan, Produktivitas, 05 Juni 2015, 13)
Waktu kuliah dulu pasti deh Pak atau Bu Dosen selalu wanti-wanti agar kita harus selalu memeriksa agar (dan menjamin bahwa) data yang kita pakai adalah data yang representatif sebelum mengolah, menganalisis, mengambil kesimpulan dan bertindak. Representatif artinya “mewakili” karakteristik populasi.
Kalau tidak, terjadilah keadaan yang dalam istilah IT atawa information technology disebut sebagai “GIGO” a.k.a. “Garbage-In-Garbage-Out” yang secara sederhananya bisa diterjemahkan sebagai “kalau yang masuk sampah, maka yang ke luar adalah juga sampah...”, yang artinya adalah “kalau data yang diolah ngaco, maka hasilnya juga pasti akan ngaco...”.
Nah, salah satu hal yang sangat penting agar “GIGO” tidak terjadi adalah masalah representativeness tadi. Kita barangkali pernah mendengar bahwa di sebuah negara, yang tidak perlu disebutkan di sini, pernah terjadi silang pendapat karena perbedaan hasil “quick count” dari sebuah pemilu yang dihasilkan oleh organisasi/institusi yang berbeda-beda. Nah, itulah salah satu contoh “bahaya”nya..., kebayang, ‘kan?
Tapi karena Om-G mah ilmunya belum sampai ke situ, kita obrolin yang gampang-gampang saja yuk? Supaya lebih mudah dimengerti...
Ceritanya begini:
Once upon a time (heu..., karena di profile Om-G menjanjikan akan menulis tentang dongeng anak-anak, yang sampai sekarang belum kesampaian, jadi bahasanya kacau kayak begini nih... Mohon mangap ya..?), di sebuah kota di negeri antah berantah, ada sebuah jalan yang cukup lebar, yang memiliki dua jalur untuk masing-masing arah arus jalan (tapi seperti di negara Indonesia juga, biasa deh, pada saat lalu lintas padat, ke dua jalur itu “bertambah dengan sendirinya” menjadi tiga jalur, itu pun masih ditambah lagi dengan jalur sepeda motor...).
(Coba perhatikan Gambar 13.1)
Pada pagi hari, biasa, ‘kan, bahwa kepadatan jalan raya tidak sama untuk ke dua arah. Katakanlah di pagi hari arus kendaraan dari arah A ke B lima kali lipatnya dibandingkan dari B ke A. Apa yang terjadi? Ya macet lah dari arah A ke B; dan sebaliknya tidak macet (malah “berlebih”) dari arah B ke A.
Nah rupanya keadaan ini diketahui oleh pejabat berwenang yang tugasnya mengurusi jalan. Maka dengan niat baik, beliau memerintahkan anak buahnya untuk mengambil data arus kepadatan jalan dari A ke B dan dari B ke A. Hasilnya ya seperti yang disebut tadi: arus kendaraan dari arah A ke B lima kali lipatnya dibandingkan dari B ke A.
Lalu dengan haqqul yakin, beliau memerintahkan agar pembatas jalan (yang dibuat dari beton) dibongkar dan dipindahkan (juga dibikin permanen, terbuat dari beton) menjadi seperti pada gambar 13.2
Apa yang kemudian terjadi?
Dari arah A ke B, karena sekarang ada tiga jalur (resminya, karena pada de facto nya mah menjadi lima jalur mobil + jalur sepeda motor), maka arus kendaraan menjadi lebih lancar pada kedua arah. Iya ‘kan? Karena dari arah A ke B sekarang jalannya sudah dibuat lebih lebar, maka sekarang arus mobil dari A ke B bisa lima kali lipat daripada dari arah B ke A (sesuai data yang dikumpulkan oleh karyawan yang ditugasi oleh Pak Pejabat tadi).
Genius, ‘kan? Wong sekarang sudah jauh lebih lancar daripada sebelumnya...
Apakah permasalahannya sudah solved ? Ternyata belum, Om n Tante...
Lho, sampeyan jangan mengada-ada dong, Om-G. Kalau keadaannya sudah jadi bagus, apa lagi yang salah?
Lha ini berkaitan dengan judul tulisan ini... Data yang diambil, diolah, dianalisis dan akhirnya menjadi kesimpulan yang berujung pada tindakan itu, sudah representatif atau belum?
Ternyata betul bahwa jalan tadi menjadi lancar, tetapi itu hanya terjadi pada pagi hari. Bagaimana keadaan lalu lintas pada sore hari di jalan tersebut? Wah, makin kacau beliau... Pada sore hari, di mana arus mobil dari B ke A lima kali lipat daripada arus mobil dari A ke B, jalan dari B ke A malah lebih sempit dari pada sebelumnya. Ya jadi macet banget banget deh...
Di mana salahnya? Ya itu tadi, masalah representativeness... Pada kasus di atas, konon ternyata pengambilan data hanya dilakukan pada pagi hari, antara pk.06-09. Kalau jalannya memang hanya dipakai pada pagi hari ya nggak apa-apa. Pasti bagus lah, hasilnya...
Masalahnya, karena jalan tersebut dipakai bukan hanya pada pagi hari, maka pada sore hari (di mana data arus lalu lintasnya berubah total dibandingkan keadaan pada pagi hari), terjadilah keadaan yang sangat kacau tadi.
Pada kasus di atas, kemungkinan besar mah mah Pak Pejabat tidak secara eksplisit memerintahkan bahwa pengambilan data hanya pada pagi hari, tetapi salahnya adalah bahwa beliau memberi perintah hanya secara umum “Ambil tuh, data arus lalu lintas ke dua arah di jalan Anu ya, nanti hasilnya laporkan kepada saya...”. Kira-kira demikian instruksi beliau. Masalahnya, karena anak buah beliau mungkin nggak pinter-pinter amat, dan belum pernah mengambil kuliah statistik pula, dia jadi salah dalam melaksanakan pengambilan data tadi (yaitu hanya mengambil data pada pagi hari, padahal jalan itu ‘kan dipakai pula pada waktu yang lain...). Termasuk si pelaksana mungkin ngambil enaknya saja, “...perintahnya ‘kan ngambil data arus lalu lintas ke dua arah di jalan Anu, ya saya laksanakan...” (sambil nggak mikir, bahwa dengan dia hanya mengambil data pada pagi hari doang, maka data yang dia peroleh tidak menggambarkan keadaan secara representatif, yang bisa berpengaruh pada pengambilan keputusan...).
Nah, jadi kalau Om n Tante yang jadi Boss, beri perintah secara rinci ya? Periksa bahwa tidak terjadi miss-interpretation, dan lakukan check-n-crosscheck... Setuju., ‘kan?
Untungnya, menurut kabar dari negeri antah berantah tadi, setelah beberapa bulan terjadi kekacauan lalulintas yang sangat parah pada sore hari seperti diceritakan di atas, pembatas jalan tadi dibongkar lagi, dikembalikan seperti semula, yaitu di tengah-tengah. Dan pada pagi dan sore hari, dipasang pembatas non permanen berupa cone merah yang di antaranya dipasangi tali plastik untuk jalur “counter flow”. Alhamdulillah...
Salam. Sekian dulu dari Om-G. Salut à vous tous...
(Kompasiana.com/Om-G)