Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Untukmu Aceh (26 Desember 2004 - 2012)

26 Desember 2012   05:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:02 1541 5

Langit cukup cerah sore itu namun cerianya tak dapat menyembunyikan duka yang masih terpancar dari mata Fandy. Kisah pilu 8 tahun lalu yang menimpa keluarga orang tua angkatnya masih menyisakan sendu. Ada nada pilu di ujung matanya saat salam terucap dari bibirnya yang bergetar menyambut uluran tangan kanan saya di depan Rumah Tsunami.

Pada Minggu pagi (26/12/04) Iptu Pol. (Amt) Dewa M. Adrian beserta tujuh anggota keluarganya sedang menikmati sarapan di halaman samping rumah mereka ketika air bandang secara tiba-tiba datang dari belakang rumah memeluk dan menghanyutkan tubuh mereka. Kini bangunan dua lantai di jalan raya Ulee Lheue itu hanya bersisa lantai dasar, penghuninya tak pernah kembali lagi. Tsunami meninggalkan jejaknya lewat lima undakan tangga menuju lantai dua, lima pilar di depan dan samping rumah yang masih berdiri kokoh berikut dinding yang masih kekar menempel di lantai.

Daerah Ulee Lheue adalah kawasan yang mengalami kerusakan paling parah setelah diterjang gelombang tsunami. Menyusuri jalan ini sekarang tak terbayangkan bagaimana kondisinya delapan tahun lalu. Di Rumah Tsunami, demikian tulisan pada papan penanda yang terpancang di depan rumah yang kami singgahi dalam perjalanan ke Banda Aceh bersama rombongan Sahabat Museum (Batmus) sekembali dari Sabang, Sabtu (13/10/12) lalu.

Di sebuah warung di samping Mesjid Baiturrahim kakak Tjut berbagi kisah saat air bandang menerjang rumah mereka. Dia bertahan berpegang pada sebatang balok sembari terus melafalkan asma Allah, pasrah. "Rumah kami ya di sini,tempat kami kembali bangun rumah yang sudah hilang tersapu air bandang. Semua rata, kecuali mesjid tu!" Kakak Tjut satu diantara yang selamat dari terjangan air bandang dan bisa berkumpul kembali dengan keluarga yang terpisah karena terjangan tsunami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun