"Pasar Baru, ... pada waktu saja masih ketjil sampai dewasa adalah sepi sekali. Belum ada kaki lima (trottoir). Di muka toko - toko terdapat pohon-pohon asam yang rindang meneduhi djalan. Belum ada rumah bertingkat." Itulah penggalan kenangan yang ditulis oleh Tio Tek Hong, seorang pengusaha terkenal dari daerah Pasar Baru, Jakarta dalam bukunya yang diterbitkan pada 1959, Riwajat Hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang.
Sisa kejayaan masa lalu yang masih kokoh berdiri hingga hari ini, bisa kita nikmati bila bertandang ke kawasan Pasar Baru. Beberapa diantaranya Kantor Pos Filateli, Stadschouwburg (sekarang dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta), Ursulint Zuster School (Santa Ursula), Gedung Antara, Toko Kompak dan lain-lain. Tak cukup waktu sehari untuk menyurusi daerah Pasar Baru yang cukup luas, apalagi bila ingin keluar masuk gedung yang ada. Mari kita persempit dengan menikmati kawasan di sekitar pertokoan Pasar Baru sembari mengembangkan imajinasi ke masa lampau.
Pasar Baru adalah surga belanja bagi mereka yang mencari kain untuk bahan busana, sepatu, peralatan olah raga atau sekedar memuaskan mata dan mecoba membandingan harga dari satu toko ke toko lainnya sebelum mengambil keputusan untuk berbelanja dimana. Pernahkah terbersit dalam dalam benak anda untuk menikmati Pasar Baru tak sekedar keluar masuk toko yang menawarkan aneka diskon, menenteng tas belanja yang penuh lalu mencari makan saat perut lapar?
Memasuki pusat pertokoan Pasar Baru, pengunjung akan disambut oleh sebuah gerbang tinggi bergaya Cina dengan tulisan besar di atasnya Passer Baroe, 1820. Pasar Baru adalah sebuah pasar yang terbentuk dengan sendirinya sebagai pelengkap perniagaan di Weltevreden (sekarang daerah Gambir - Pasar Baru - Senen), kawasan elit Batavia yang mulai berkembang pada abad ke-19. Ketika terjadi penumpasan etnis Tionghoa di Batavia yang dikenal sebagai Peristiwa 1740, etnis Tionghoa "diisolir" di luar benteng Batavia. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan jam malam; etnis Tionghoa tidak boleh tinggal dan hanya diijinkan berada di dalam kota Batavia pada siang hari. Mereka inilah yang kemudian datang berdagang di Pasar Baru, membentuk komunitas, menjadi pengusaha sukses dan mengendalikan perniagaan di sana.
Satu Sabtu pagi berenam kami ngariung menikmati sajian teh dan kopi panas ditemani aneka camilan berupa keripik balado dari Padang, rempeyek kacang serta jajanan dari Monami di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). GJFA menempati sebuah gedung lama yang masih terawat di jejeran gedung sebelah kiri gerbang masuk Pasar Baru, bekas kantor berita Belanda yang pernah berjaya pada awal abad ke-20; ANETA (Algeemen Nieros en Telegraaf Agentschap). Dari tempat inilah teks Proklamasi dikumandangkan oleh Adam Malik hingga ke seantero negeri pada 17 Agustus 1945. Sebuah tempat yang nyaman untuk bersantai sambil menikmati potongan sejarah berdirinya kantor berita Antara di lantai dua atau memuaskan mata menikmati pameran foto di lantai bawah gedung dengan interior art deco ini.
Saat matahari tepat di ubun-ubun, kami melangkah ke Gang Kelinci untuk menikmati santap siang di Bakmi Gang Kelinci yang tersohor sejak 1957. Semangkok Bakmi Pangsit menjadi pilihan saya untuk memuaskan lidah yang telah bertahun-tahun tak bertandang ke sini. Bagi penggemar daging merah, ada tempat yang lebih menggoda untuk menyantap bakmi. Masuklah ke gang kecil di samping Bakmi Gang Kelici dan anda akan menemukan kedai Bakmi A Boen di ujungnya, atau ke kedai Bakmi Ayam Soen Yoe di Gang Kelinci III.
Setelah puas mengitari Sin Tek Bio, kami kembali ke pertokoan Pasar Baru dan duduk menikmati ruangan berpendingin di Restoran Tropik sembari menyegarkan tenggorokan dengan es krim jadul. Resto ini telah berdiri semenjak 1979, menempati bangunan yang dulunya rumah toko milik Tio Tek Hong seorang pengusaha dari Pasar Baru yang mempopulerkan sistem harga banderol/harga pasti dan pandai mempromosikan dagangan di tokonya dengan memasang iklan di koran Bintang Betawi. Salah satu contoh iklannya berbunyi seperti ini: "Zoner Binatu Lagi! Servet dari kertas (h)alus berkembang, lebih bagusdan pantas dari(pada) memakai servet biasa, yang membikin pusing mesti dicuci lagi sehabisnya dipakai. Tetapi servet ini kalau sudah dipakai satu kali boleh dibuang, sebab harganya ada lebih murah dari ongkos cuci."
Tak jauh dari Tropik, ada sebuah bangunan tua yang masih bertahan dalam bentuk aslinya yang bergaya campuran Cina dan Eropa. Jika tidak diperhatikan dengan seksama ruko ini mungkin saja lepas dari pandangan. Toko Kompak, nama yang terpampang di atas pintu ruko yang menempati bekas rumah Majoor Tjina pada masa itu. Toko yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Belanda pada saat perayaan imlek untuk melihat pertunjukan barongsai, bahkan pada 1908 dianugerahi penghargaan. Dua medali penghargaan dari Gubernur Jenderal itu sampai hari ini masih menempel di atas pintu masuk ruko.