Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Udaya Halim, Si Anak Nakal Perekat Mata Rantai Peranakan Tionghoa Benteng

9 Juli 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 1195 6

Lelaki tambun dengan rambut keperakan menyapa rombongan kami yang menyesaki ruang tamu Museum Benteng Heritage (MBH), sebuah bangunan tua yang menyempil diantara tenda pedagang di tengah Pasar Lama Tangerang, Banten. Berpuluh gelas liang teh spesial dan kudapan khas peranakan yang sudah disediakan tuan rumah tak lepas dari incaran pelega tenggorokan. “Silahkan diminum lho, tehnya sama dengan teh yang setiap hari saya minum di rumah.”

Selesai icip-icip, rombongan kami diajak ke ruang tengah mengisi bangku-bangku yang tersedia, duduk mengitari 6 meja kayu besar untuk mendengarkan kisah terbentuknya MBH. Keringat membasahi badannya, meski langit-langit bangunan cukup tinggi tak urung hawa panas sempat meresap di dalam ruangan. Tiba-tiba byuuuuuuuuuuurrrrrr!!! Air hujan buatan mengucur deras jatuh di sisi kanan ruangan. Keterbatasan sirkulasi udara dalam ruangan disiasati dengan kreatif : selain kipas angin yang dipasang di beberapa sudut, penambahan balok-balok es batu memberikan sensasi adem dalam ruangan ditambah dengan hujan buatan tadi.

Menurut Udaya, anak nakal bukan karena kurang perhatian tetapi mereka adalah anak-anak kreatif yang tak tahu bagaimana menyalurkan bakat kreatif mereka. Karenanya, Udaya mencoba merangkul dan menjadi sahabat “anak nakal” dengan mendirikan Prince’s Creative School. Sekolah lokal dengan pendidikan dan fasilitas setara sekolah internasional. Celoteh menyegarkan disampaikannya di sela-sela pemaparan restorasi MBH menghangatkan suasana, dan sebagai orang yang senang berbicara; informasi yang disampaikan tak putus-putus. Usaha kerasnya untuk mengenyam pendidikan tinggi diraihnya meski tanpa melalui jalur SMA dengan meraih kesempatan mendalami bahasa Inggris di Bournemouth,Inggris.

Ketika terjadi kerusuhan pada 1997, Udaya memboyong keluarganya ke Australia dan menjadi permanent resident (PR) di Perth, Australia. Pada 2004, ketika mudik ke Tangerang bersama keluarganya Udaya bingung untuk menjelaskan kepada putra bungsunya tempat dimana dulu dia lahir, bertumbuh, bermain dan dibesarkan. Kecintaannya pada akar dimana dirinya berasal, membawanya pada sebuah mimpi untuk mencari dan menjalin kembali benang yang lama terputus kisah tentang kaum Peranakan Tionghoa Benteng. Cintanya tak pernah luntur pada kota Benteng, Tangerang dan Indonesia; meski ada masa dalam perjalanan hidupnya mengalami penolakan dari masyarakat bangsa yang katanya cinta damai ini.

MBH, lahir dari sebuah cinta dan niat yang tulus Udaya Halim untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi tanah kelahirannya, untuk generasi masa kini dan masa mendatang. Rantai yang terputus terjalin kembali berkat si anak nakal yang kreatif, satu diantara rumpunan ilalang dari generasi Tionghoa Benteng, Tangerang. Kami dibuat kagum dengan usahanya mengumpulkan informasi yang detail dari pabrik kecap Teng Giong Seng, pabrik kecap tertua yang telah berdiri sejak 1882 dan sampai sekarang tetap berproduksi secara tradisional. Hasil investigasi khusus yang kemudian dipaparkannya sendiri di depan rombongan peserta Plesiran Tempo Doeloe, Ketjap Benteng Tanggerang yang digelar Komunitas Sahabat Museum Minggu (8/7) lalu.[oli3ve]

*****

Tentang MBH silahakan membaca tulisan saya sebelumnya Benteng, Heritage, Museum Peranakan Tionghoa Pertama di Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun