Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Aung San Suu Kyi, The Steel Orchid of Burma

24 April 2012   08:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11 542 2

Yangon (Inggris, Rangoon) 1988 ... Seorang wanita yang baru beberapa saat kembali ke tanah kelahirannya berdiri di depan rumah sakit pusat kota, emosinya diaduk-aduk menyaksikan para mahasiswa yang sedang berdemo dikejar dan diberangus dengan peluru oleh militer tak berperikemanusiaan. Dari kejauhan disaksikannya beberapa pendemo menentang pemerintahan Ne Win meneriakkan "DEMOKRASI!" sambil mengangkat tinggi-tinggi gambar sesosok lelaki yang begitu dekat dengannya. Lelaki dalam gambar itu adalah lelaki yang mengucapkan perpisahan dengan menyematkan sekuntum bunga dikupingnya; Jenderal Aung San ayahnya yang mati ditembak oleh junta militer saat dirinya masih balita. Dan wanita yang rahangnya mengeras menahan emosi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata itu adalah Aung San Suu Kyi putri pendiri partai Liga Nasional Demokrasi (National League for Democracy/NLD) yang kemudian dikenal sebagai tokoh demokrasi NLD Birma (sekarang Myanmar).

Kedatangan Suu Kyi untuk menjenguk sang ibu yang sakit telah membuat para petinggi militer di negeri pagoda itu ketar-ketir. Ibunya Khin Kyi, mantan Dubes Burma untuk India tergolek lemah di ranjang rumah sakit karena stroke. Kepulangannya yang semula hanya dijadwalkan dua minggu 'terpaksa" diperpanjang hingga hari ini. Dirinya tak dapat keluar masuk dengan bebas di negerinya sendiri setelah menerima permintaan para pengikut ayahnya untuk memimpin partai NLD memperjuangkan demokrasi. Beberapa bulan setelah kedatangannya Suu Kyi yang tak punya pengalaman berbicara di depan publik, berdiri di tengah ribuan pendukung NLD menyerukan demokrasi di luar pagoda Schwedagon, Yangon pada 26 Agustus 1988. Kegiatan dan pergerakannya semakin diawasi oleh junta militer, rumahnya dijaga ketat oleh pasukan junta militer dimana dirinya menjadi tahanan rumah selama 15 tahun. Terputus dari dunia luar, terpisah dari suami dan dua anaknya yang tinggal di Oxford, Inggris karena tak diberi lagi ijin oleh rezim yang berkuasa untuk menginjakkan kaki ke Myanmar.

Meski menang dalam pemilihan umum tahun 1990, ternyata rezim penguasa militer tidak ingin memberikan kesempatan kepada Suu Kyi untuk menduduki kursi di parlemen. Sejumlah rekan dan pengikutnya dipenjara dengan cara biadab, dirantai di samping kandang anjing yang kelaparan; membuatnya melakukan perlawanan dengan melakukan aksi mogok makan hingga penguasa militer memperlakukan mereka sebagai manusia.

Pada 10 Desember 1991 usaha sang suami membuahkan hasil, Suu Kyi memperoleh Nobel Perdamaian atas segala upaya kampanye perdamaian yang digalakkannya. Hadiah Nobel tersebut diserahterimakan di pusat nobel Oslo, Norwegia kepada suaminya Michael Aris dan kedua putranya Alexander dan Kim Aris. Potongan pidato Alexander berikut yang tampil mewakili sang ibu yang masih menjalani tawanan rumah pada acara penyerahan hadiah, memukau semua yang hadir “... We must also remember that the lonely struggle taking place in a heavily guarded compound in Rangoon is part of the much larger struggle, worldwide, for the emancipation of the human spirit from political tyranny and psychological subjection...”

Sebuah pilihan sulit ditawarkan padanya saat sang suami dalam keadaan sekarat digerogoti kanker prostat terbaring lemah di Inggris dan dirinya tak dapat mendampingi hingga menghembuskan napas terakhirnya. Jika dirinya melangkah dari Myanmar maka semua perjuangan panjang yang telah dilakukannya akan sia-sia, karena sudah pasti rezim penguasa tidak akan mengijinkannya masuk kembali. Apakah itu disebut kebebasan jika tawaran yang diberikan sangat sulit? "You are free to choose madam, your family or your country"

Wanita tegar, lemah lembut, penuh ketenangan ini, dikaruniai kecerdasan untuk melakukan setiap pergerakan dengan berani dan bermartabat berkat dukungan semangat dari orang-orang yang dicintainya. Seorang ibu rumah tangga yang meninggalkan kenyamanan hidupnya di Oxford beralih haluan memimpin pergerakan memperjuangkan keadilan demi rakyatnya, walau harus mengorbankan kebahagiaan pribadi dan keluarganya. Pencidukan beberapa pengikutnya oleh militer untuk diinterogasi, dijadikan pekerja paksa di perbatasan dan disiksa kala menghadiri kampanye perdamaian tidak menyurutkan langkahnya. Wanita yang mendapat julukan The Steel Orchid of Burma, The Female Mandela dan The Star of Burma ini melakukan pergerakan dengan motto "We shall not respond with violence under any circumstances." Rangkaian bunga anggrek yang tak pernah lepas menghiasi rambutnya menjadi ciri khas Suu Kyi untuk mengenang saat terakhir bersama sang ayah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun