Jika ada peristiwa sejarah yang menyimpang dari kejadian yang sebenarnya terjadi, memang perlu diluruskan tapi jangan karena emosional. Setelah menulis tentang Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor bulan Pebruari lalu di sini, saya masih penasaran dengan hasil seminar yang diselenggarakan oleh Eksponen 66 di Sipirok, Tapanuli Selatan pada 17-18 Pebruari 2012 lalu. Akhirnya baru kemarin siang menemukan tautan ke hasil seminar yang dilansir oleh Harian Andalas (24/02/2012) dan Medan Bisnis (25/02/2012).
Medan Bisnis menayangkan berita dengan judul Jenderal Spoor Tewas di Sipirok, bahwa dari hasil seminar mengemuka Jendral Simon Spoor tewas di tangan Sahala Muda Pakpahan (Naga Bonar) dalam pertempuran di Aek Gambiri, Tor Simago-mago, Sipirok 23 Mei 1949. Sedangkan Harian Andalas menurunkan berita yang membuat saya tersentak saat membaca judulnya Kerangka Jenderal Spoor Dipindahkan ke Sipirok. Setelah menenangkan diri sejenak saya baca perlahan isinya dan menarik napas lega ternyata itu baru usul yang dikemukakan salah satu narasumber dalam makalah yang disampaikan di seminar tersebut. Berita di Harian Andalas ini dilengkapi dengan gambar dimana ketua panitia Dharmais Siregar diabadikan bersama saudara Sahala Muda Pakpahan di makam Jenderal Spoor.
Yang menggelitik adalah pernyataan Dharmais yang dikutip dari Medan Bisnis berikut:
dengan dikuburnya Spoor di Sipirok bisa membangkitkan harga diri masyarakat Sipirok selain meluruskan fakta sejarah dan menjaga harga diri bangsa dengan membuktikan jatidiri bangsa melalui keberhasilan menghadang konvoi Belanda di Sipirok dan menewaskan seorang Letnan Jenderal Belanda yang menjadi komandan tertinggi militer Belanda di Indonesia.
Lalu Harian Andalas mengutip pernyataannya sebagai berikut:
manfaatnya cukup besar kalau pemindahan kerangka Jenderal Simon Spoor ke Sumut, arus wisatawan manca negara asal Eropa diyakini akan cukup ramai, walau selama ini kota Sipirok sunyi dari wisatawan.
Pernyataan tersebut menurut saya terlalu sentimental dan emosional. Kenapa? Konon menurut berita yang ditulis di dua media di atas, yang hadir di seminar tersebut adalah puluhan saksi sejarah yang masih hidup. Bagaimana dengan generasi sesudahnya, apakah mereka cukup mengenal siapa Naga Bonar atau siapa Jenderal Spoor? Bukan hanya itu, apakah generasi selanjutnya cukup peduli untuk merawat makan sang Jenderal? Kalau dibongkar seperti makam Belanda lainnya?
Bukannya menentang hasil seminar namun saya kurang sependapat jika makam Spoor dipindahkan ke Sipirok. Alasan utamanya adalah: jika dipindahkan, siapa yang akan bertanggung jawab untuk perawatan makam tersebut? Coba tengok salah satu contoh di Morotai, setelah dikunjungi Dubes Australia baru ada instruksi pemda untuk rapi-rapi di pemakaman tentara sekutu. Kalau sekarang makam Jenderal Spoor terpelihara dengan baik di Menteng Pulo dan pengunjung yang datang ke sana pun merasa nyaman dengan suasana taman pemakaman.