Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Warisan Budaya Tionghoa Tak Hanya Barongsai dan Liong

12 Februari 2012   14:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:45 1780 3

Ibarat sebuah taman bunga yang luas dengan aneka bunga yang memiliki beragam pesona dan keindahannya, Indonesia memiliki beragam budaya dengan pesona dan keunikan tersendiri yang memperkaya budaya Indonesia. Salah satu kembang dari taman Indonesia adalah budaya Tionghoa yang belum terlalu populer di masyarakat kita. Hal ini dikarenakan pengenalannya terhambat dan berbagai kegiatannya sempat dilarang oleh pemerintah Indonesia di masa orde lama pun orde baru. Pada masa pemerintahan Gus Dur, beliau mengeluarkan kebijakan mencabut Inpres No 14/1967 dengan mengeluarkan Kepres No 19/2001 yang memberikan kebebasan kepada keturunan Tionghoa untuk mengadakan kegiatan budayanya. Salah satu kegiatan pengenalan budaya Tionghoa adalah melalui Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia bekerja sama dengan Kompas Gramedia yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Palmerah pada 6 - 12 Pebruari 2012.

Pengunjung yang tertarik dengan dengan cerita silat, dapat berbincang-bincang dengan kolektor buku-buku kuno yang menggelar koleksi bukunya di selasar BBJ. Buku "Chinese Indonesia Peranakan" A Cultural Journey yang diluncurkan pada pembukaan pameran dapat melengkapi koleksi pustaka untuk menambah pengetahuan budaya Tionghoa peranakan dari berbagai daerah Indonesia. Buku yang dicetak berwarna ini dijual dengan harga Rp 450,000/buku.

Apa Itu Tionghoa Peranakan?

Tak adanya perempuan Tionghoa totok untuk dinikahi membuat orang Tionghoa mengambil perempuan pribumi sebagai istri. Di Indonesia, setelah peristiwa penumpasan orang Tionghoa di Batavia tahun 1740; orang Tionghoa mempunyai kecenderungan untuk melebur ke dalam masyarakat pribumi. Keturunan yang lahir dari perpaduan Tionghoa totok dan pribumi inilah yang kemudian disebut sebagai Tionghoa peranakan Indonesia.

Onghokham dalam bukunya Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyebutkan yang dimaksud sebagai kaum Tionghoa peranakan adalah mereka yang secara kebudayaan mempunyai budaya akulturasi antara budaya Tionghoa, lokal (Melayu, Sunda atau Jawa) dan Eropa (terutama Belanda). Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa melainkan berbahasa Melayu/Indonesia dan/atau bahasa daerah Indonesia lainnya sebagai bahasa ibu. Bahkan di masa lalu banyak warga Tionghoa peranakan yang fasih berbahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.

Wayang Potehi dan Chio Tau

Kegiatan lain yang ikut meramaikan rangkaian perayaan tahun baru imlek kemarin adalah pementasan wayang khas Tiongkok selatan yang disebut wayang potehi. Potehi dari asal kata Po Tay Hie (Po = kain, Tay = kantong, Hie = wayang), yang dalam lafal Indonesia menjadi potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Boneka-boneka kain ini dimainkan oleh seorang dalang dengan memasukkan tangan ke dalam kantong kain kemudian digerakkan mengikuti cerita dari balik layar panggung kecil berukuran kira-kira 1x1m2. Jika kita perhatikan saat ini para penggiat wayang potehi sebagian besar adalah orang-orang pribumi. Lakon yang dipentaskan biasanya kisah para pendekar dari dinasti Tiongkok dan mengedepankan nilai-nilai ajaran tentang kebaikan. Untuk menambah semarak pertunjukan diiringi dengan musik tetabuhan yang dimainkan oleh tiga orang pemusik. Karena sempat dilarang pentas, wayang potehi masih kurang dikenal oleh masyarakat kita. Meski sudah dibawakan dengan pengantar bahasa Indonesia, ternyata penikmat pertunjukannya pun masih terbatas di kalangan tertentu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun