I.1. Â Â Latar Belakang
Bumi Manusia merupakan novel pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit pertama kali pada pertengahan tahun 1980. Bersama dengan 50 karya sastra fenomenal lainnya, Bumi Manusia lahir semasa pengasingan Pramoedya di Pulau Buru. Dengan kecakapan menulis yang dimilikinya, Pramoedya berhasil menyindir kehidupan sosial dan humanisme di tengah masa kolonial Belanda melalui cerita yang berporos pada nasib Minke sebagai seorang pribumi. Jurang pemisah kelas sosial berhias roman masa lampau menjadi fokus utamanya dalam menulis Bumi Manusia. Lantas, kemiripan data yang dimuat di dalam karya dengan realitas kehidupan dahulu kala membuat penulis tertarik untuk mengkaji hubungan keduanya lebih lanjut dalam analisis yang akan dijabarkan pada bagian berikutnya.
I.2. Â Â Sinopsis
Bumi Manusia menempatkan Minke si pelajar H.B.S. sebagai tokoh utama dari serangkaian cerita yang mengalir di sepanjang karya. Berkat pemikiran kritis serta pendidikan erosentris yang diperolehnya semasa bersekolah, Minke mampu menjadi remaja revolusioner yang semakin kehilangan jati dirinya sebagai seorang pribumi Jawa. Antipati Minke terhadap kekalahan pun membawanya pada suatu taruhan yang melibatkan pemuda pribumi itu dengan Annelies, dara keturunan seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh. Minke yang piawai dalam berkata dan Annelies yang lugu dalam bercinta lantas saling menaruh hati pada satu sama lain. Cinta keduanya pun disetujui oleh Nyai Ontosoroh yang kemudian banyak menunjukkan afeksi layaknya seorang ibu kepada pemuda pribumi yang baru dikenalnya itu.
Lama menetap di Wonokromo membuat Minke mengenal seluk-beluk keluarga Mellema yang menempati kediaman tersebut. Nyai Ontosoroh memperoleh kepandaiannya dari pengajaran yang dilakukan oleh Tuan Herman Mellema sebelum pria itu menderita sakit jiwa dan meninggalkan keluarganya. Wanita proletar yang mendendam para aristokrat tersebut berhasil mendidik Annelies sebagai gadis mandiri yang bersedia membantunya merawat perusahaan serta kebun milik Tuan Mellema. Di lain sisi, Robert Mellema-kakak laki-laki Annelies-memiliki perilaku yang semakin menyerupai sang ayah yang gemar berfoya-foya dan sering mengunjungi lokalisasi milik Babah Ah Tjong.
Kehadirannya di Wonokromo serta relasi yang dijalinnya dengan keluarga Mellema pun menimbulkan sejumlah isu di kemudian hari. Kedekatan sang adik dengan Minke membuat Robert cemburu dan berkeinginan untuk membunuh pemuda pribumi tersebut. Nasib malang kembali menimpa Minke yang nyaris dikeluarkan dari sekolah usai desas-desus keliru mengenai dirinya beredar. Konflik pun mencapai klimaks setelah mayat Tuan Mellema ditemukan di cakela milik tetangga mereka. Sebagai pribumi yang berkedudukan rendah di hadapan pengadilan, Minke dan Nyai Ontosoroh harus  berupaya keras dalam menyanggah fitnah publik yang ditujukan pada keduanya.
Jerih payah yang dikerahkan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh pun mendatangkan nasib baik. Minke kembali diterima sebagai murid tahun terakhir di sekolahnya berkat pembelaan Tuan Asisten Residen Herbert de la Croix yang dikenalnya semenjak upacara pengangkatan sang ayah sebagai bupati. Pelajar pribumi tersebut pun lulus secara terhormat dan berhasil menikahi Annelies. Kehidupan Minke pun dihias dengan canda tawa dan roman dewasa hingga Maurits Mellema datang menghendaki hak waris mendiang ayahnya serta hak perwalian atas Annelies.
Kehadiran Maurits Mellema terasa bagai halilintar yang menyambar kebahagiaan serta nasib baik Minke dan Nyai Ontosoroh kala itu. Tidak banyak upaya yang dapat mereka lakukan mengingat posisi keduanya yang tidak berdaya di hadapan pengadilan Belanda. Pernikahan Minke dan hak asuh Nyai Ontosoroh pun dianggap tidak sah. Nasib malang kembali mendatangi keduanya usai mengalami kekalahan dalam pengadilan. Minke dan Nyai Ontosoroh hanya dapat merelakan kepergian gadis jelita kesayangan mereka menuju Amsterdam dengan bulir air mata menggenang di pelupuk.
I.3. Â Â Kajian Teori
Menurut Wellek (1990), keselarasan antara suatu karya sastra dengan fakta dan pengalaman yang ada dapat dikategorikan sebagai nilai estetis dari karya itu sendiri. Kritik yang mengaitkan karya sastra dengan realita yang tecermin di dalamnya disebut sebagai kriteria realisme atau mimesis (Luxemburg, 1989). Kritik ini ditonjolkan apabila kritikus hendak memperjelas kenyataan yang secara tidak langsung dipantulkan melalui suatu karya sastra (Asriningsari & Umaya, 2016, hal. 85). Sementara itu, Plato menyatakan bahwa karya sastra tidak mampu merefleksikan realita yang sebenarnya, melainkan hanya berupa imitasi dari kenyataan yang ada (Ratna, 2010, hal. 70).