Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Dialog Hujan dan Kopi

1 Oktober 2012   01:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 236 1
15:15. Di satu sudut kafe di kawasan Kemang.
Hujan rintik-rintik.


Andri melirik ke arah jam tangannya, sudah hampir 30 menit ia berada di meja itu.
Gusar.
3 buah majalah Cosmopolitan yang diambilnya dari rak di pojok ruangan kafe telah tuntas dibolak-baliknya. Dan Hazelnut Latte yang dipesannya pun sudah tidak lagi bisa dikatakan hangat.

Menanti seorang Hanggar.

Hujan turun makin deras ketika yang ditunggu-tuggu akhirnya datang.

“Sori Dri, tadi si bos minta gue selesaiin draft konsep. Lo udah lama?” ujar Hanggar sambil memberi isyarat lambaian tangan kepada pelayan kafe. “Mas, saya pesan Black Coffeenya ya, gulanya dikit aja,”

Ingin rasanya Andri menjawab ‘hello, gue udah meninggalkan laporan keuangan yang harusnya gue selesaiin sore ini buat janjian sama lo, tapi lo malah….’
Tapi yang terucap dari mulutnya cuma “It’s okay, gue juga baru sampe kok,”

Kening Hanggar sedikit berkerut mendengar jawaban Andri, padahal jelas terlihat cangkir kopi Andri di meja sudah hampir tak bersisa.
“So, ada apa nih lo ngajak ketemuan gue, urgent banget kayaknya? Seorang Andri mustahil cuma iseng aja kalo ngajak ketemuan pas jam-jam segini. Lo tuh pegawai rajin kesayangan semua bos kan. Hahaha,”

“Sialan lo. Sebelumnya gue minta maaf ya Nggar, harus minta lo ketemu pas jam kantor,”

“No problem, lagian gue nanti malem balik lagi ke kantor. Biasa, lembur. Klien gue majuin deadline, gila! Kalo ngga karena dia nawarin bonus lebih karena minta deadlinenya dimajuin, beeeh… habis,” ujar Hanggar sambil menyeruput kopinya. “Mmm… Black coffee di sini emang enak banget, kayaknya gue perlu take away deh buat lembur nanti”

“Stop deh Nggar, lo hitung berapa cangkir kopi pahit yang lo konsumsi tiap hari. Lo hitung juga berapa jam tidur rata-rata lo tiap hari. Being an architect is your passion dari SMA, I do support you, tapi gue ga mau kalo sampe lo sakit,”

Hening.

Dua belas tahun sudah Andri dan Hanggar bersahabat, sejak sama-sama menuntut ilmu di sebuah SMA negeri di Jakarta, hingga lulus, dan kemudian Andri melanjutkan sekolah ekonomi di Perth, sedangkan Hanggar mengambil jurusan Arsitektur di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung, dan kemudian melanjutkan studi ke negara impiannya, Jerman.
Dua tahun yang lalu Hanggar kembali ke Jakarta, dan sebuah reuni kecil SMA mempertemukan kembali keduanya. Nostalgia membawa kenangan semasa SMA kembali hadir nyata di antaranya.

“Sebenernya apa yang mau lo omongin, Ndri?” ujar Hanggar memecah keheningan.

“Gue… Gue mau pamit sama lo, Nggar,”

“Pamit? Lo mau ke mana lagi? Holiday ke Brussel? California? C’mon ga usah bercanda deh, kenapa harus pamit segala?”

“Well, gue dapet panggilan kerja di Amrik, Nggar,”

“Wow, that oil company? Congrats Ndri! Akhirnya dapet kan yang lo idam-idamkan,”

“Yes, and I don’t even think to go back to Indo…”

“Ngomong apa sih lo Ndri, keluarga, temen-temen lo, semua kan di sini? Masa lo ga mau sih balik ke sini lagi, even pas libur? Gue? Lo ga bakalan kangen sama gue? Hahaha,”

Hening.

“That’s what I want to tell you… Gue sayang sama lo, Hanggara Adriwisena,”

Hening.

Hening.

“Dua belas tahun lo mungkin nganggap gue sebatas sahabat. Selama SMA lo pikir gue ga cemburu waktu lo ngejar-ngejar Tari dan minta bantuan gue buat pdkt? Lo pikir gue ga cemburu waktu lo akhirnya jadian sama Tari? Waktu lo kissing sama Tari di depan gue waktu prom? Bahkan ketika lo balik ke Indo, dan ngegandeng Tari ke reuni, dan bilang kalo kalian engaged, dan sampai akhirnya kalian sekarang udah berumah tangga, lo curhat semua cerita honeymoon lo ke gue, lo kira gue ga cemburu, hah? Tai, sakit banget, Nggar,”

“Ndri..”

“Well, it’s okay. Sori kalo gue terlalu nyeplos. Hahaha. Lebih baik gue jujur sekarang sama lo, biar nanti gue ga ada beban di sana. Ini juga salah satu alasan kenapa gue pengen banget kerja di oil company itu. Biar gue bisa pergi dari Indo, pergi dari lo, dan kenyataan. And I’ll start a new life there,”

Hening.

Hening.

“Kenapa lo ngga bilang sama gue dari awal, Ndri?”

“Lo kira gue punya nyali apa? Hahaha. Gue juga ngga mau bikin lo justru menghindar dari gue setelah tau kenyataannya. I wish i could throw it all away,”

Hanggar tersenyum pahit. Tidak ada sepatah kata yang dirasanya tepat untuk dilontarkan pada situasi seperti ini.

Andri memanggil pelayan dan membayar billnya.

“Gue pamit Nggar, gue harus packing. Besok pagi pesawat gue take off jam 6. And… If you don’t mind, lo bisa…”

“Iya, pasti Ndri, gue akan ke bandara besok sebelum ke kantor,”

“Lo boleh ajak Tari. Dia sempurna buat lo,” ujar Andri seraya bangkit dari sofanya. “See you tomorrow Nggar, thank you for coming. And, you know, sorry,”

Hanggar tersenyum, dan menepuk bahu Andri, “At least, lo jujur, Ndri,”

Andri tersenyum pahit, kemudian berbalik melangkah menuju pintu keluar.

“Ndri!” panggil Hanggar.

Andri menoleh.

“Jangan hapus akun Skype gue di sana ya, suatu saat gue bakal ngenalin lo sama anak cucu gue. Hahaha,”

“Hahaha. I will do the same, but.. Yeah, maybe later. Time heals,” sahutnya sambil tersenyum. “Bye, Nggar!”

Hanggar masih terduduk di sofanya, menyaksikan sosok Andri keluar kafe dan menuju Civic hitamnya yang terparkir di parkiran tanpa memperhatikan derasnya hujan yang turun dan membasahi tubuhnya.

Betapa mengejutkannya sore ini. Dan Hanggar masih saja terperangah bagaimana bisa selama 12 tahun ia tidak pernah tahu, bahwa sahabatnya ternyata memendam perasaan. Sahabat terdekatnya. Sahabat tempatnya bercerita ini itu. Sahabat yang dulu sama-sama menjadi senior idola junior-junior sekolah. Sahabat yang bahkan awalnya sempat ditaksir oleh Tari.
Sahabatnya yang tampan, Andriano Stevo.

15:55. Di satu sudut kafe di kawasan Kemang.
Masih hujan. Basah kuyup. Dan dingin.

21:04. 17 Agustus 2011.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun