Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

HUT Bhayangkari, Miss Universe dan Aduhaisme

4 Oktober 2011   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:21 707 9
[caption id="attachment_139386" align="aligncenter" width="640" caption="Miss Universe 2011 Leila Lopes saat baru tiba di Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, ditemani oleh Puteri Indonesia 2010 Nadine Alexandra Dewi Ames, Rabu (3/10/2011)/Admin (KOMPAS.com/Banar Fil Ardhi)"][/caption] Ungkapan 'Consumers is the silent majorities' seperti ingin mewakili tidak saja konsumerisasi tapi juga aduhaisme. Konsumen, tidak saja dimandulkan untuk menyaring hal apapun yang masuk ke dalam tubuh dan pikirannya, tapi juga dipaksa menelan mentah-mentah, tanpa pernah mampu merefleksikan kembali kehidupan yang sebenar dan seutuhnya. Bahkan, pembuaian massa melalui imut-imut budaya yang didakwahkan tiap detik lewat lemah gemulai media massa. Simbol, penampilan, citra dan tanda menjadi alternatif wahid dan begitu mengiurkan sekaligus memabukkan. Gengsi mengalahkan fungsi, kemasan lebih utama dari isi, nilai-guna dan nilai-tukar tergantikan oleh kedudukan, tanda dan simbol. Penampakan, penampilan, simbol status, citra dan tanda lebih utama ketimbang makna, apalagi isi dan kedalaman. Upaya mengendalikan konsumen melalui simbol-simbol, citra dan tanda sampai antara fiksi dan fakta berada dalam batas red area. Hingga tidak ada lagi batasan yang membedakan antara fiksi dengan kenyataan, "there is no more fiction that life could possibly confront". Dominasi konsumerisasi yang rapih, tidak hanya mendistorsi jantung ekonomi, tapi juga urat nadi kehidupan paling vital manusia, yaitu moralitas. Dalam area budaya, fenomena ini ditandai dengan bentuk hyperreality yang membanjiri setiap bangsa termasuk di Indonesia. Dengan dalih apapun dan logika manapun, nampak konsumerisasi menjelma menjadi institusi kekuasaan baru menggantikan peran penting pilar-pilar negara, militer dan parlemen Konsumerisasi menjadi motif dan modis utama dan sistem penggerak realitas sosial, budaya bahkan politik. Jadi, persoalan pokok sebenarnya bukan pada mengapa dan kenapamempersoalkan Leila Lopez Miss Universe 2011 itu datang ke Indonesia, atau persoalan Rp 750 juta, tapi ada maksud apa dibalik agenda besar itu? Tapi bukankah akan lebih baik seandainya uang itu diberikan demi membantu kesejahteraan bintara Polri? Atau untuk hibah fakir miskin?. Selain itu mengapa institusi penting negara Indonesia, pilar negara, kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini KEPOLISIAN yang menjadi tuan rumah? Kecuali jika HUT Bhayangkari 11 Oktober nanti dimaksudkan untuk sekedar ajang puji puja gemerlap materialisme, kolonialisme, kapitalisme, globalisme, hedonisme, konsumerisme dan tentu saja.......aduhaisme? Walaupun demikian, minimalnya ada beberapa noktah penting yang menjadi pokok masalah. Pertama, ada semacam orgasme sesaat ketika 'menjilati' keindahan tubuh, kecantikan wajah dan kemulusan kulit yang direkayasa teknologi kosmetika dan medis. Kedua, ada semacam gejala promosi diri terhadap komoditas gede-gedean di seluruh aspek kehidupan yang menggeser nilai-nilai moralitas. Selain itu, menjadi agen penyebaran simbol-simbol dan status, jelas sangat menggiurkan, menjanjikan dan mendongkrak popularitas. Ketiga, ada kondisi dari aktivitas massa dalam menkonsumsi pernak pernik materi yang sangat berlebihan, hingga melampaui nilai-guna benda dan cenderung menuhankan status personal dan satus sosial utamanya pada simbol-simbol dan citra. Keempat, ada upaya memupuk gejala pengumbaran kepuasan seks sesaat yang melampaui wilayah seksualitas itu sendiri melalui pemujaan keindahan, penyembahan kecantikan dan kebaikan semu. Dan nampaknya disinilah letak kejelian memandang peluang dan memanage massa. Ketika hasil cita, karya, dan karsa dianggap masyarakat sebagai norma dan kode etik hidup, maka "itikad baik" ini dijargonkan sebagai bentuk pemulyaan ide dan budaya serta penghormatan terhadap seni dan kemanusiaan. Anehnya lagi adalah, konsumen hanyut dalam ritme simbol, citra dan penampilan yang terlampau sulit untuk dibedakan antara fiksi dan kenyataan, hingga rasionalitas pun tidak lagi memiliki tempat dan makna. Dan sekali lagi inilah bentuk keberhasilan "itikad baik" itu dalam melihat komoditas dan pangsa pasar. []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun