"Warnanya mencolok ... ndesit ah."
"Selera lagunya kok kampungan ya?"
Sadar atau tidak, kebanyakan dari kita pasti pernah mengatakan hal-hal itu ketika melihat situasi, penampilan, ekspresi, atau kondisi yang kita anggap tidak keren, norak, atau mungkin tidak "fit" dengan kaidah tertentu. Ndeso, ndesit, kampungan, atau istilah-istilah semacamnya lalu jadi istilah untuk mengungkapkan perasaan kita yang berkonotasi merendahkan, jika bukan menghina.
Biasanya, ungkapan "ndeso" atau "kampungan" akan kita sematkan pada mereka yang kita anggap punya selera atau tampilan yang kurang bermutu, gemar menggunakan atau memilih warna/tampilan mencolok, punya logat/aksen daerah tertentu, punya selera musik tertentu, punya selera makan tertentu, punya kebiasaan/budaya tertentu, bahkan tampilan (fisik) tertentu. Kurang punya selera atau tampilan yang pas lah, intinya. Â
Tapi, benarkah hal-hal itu terkait atau melekat dengan orang desa?
Ada beberapa kekeliruan berpikir yang perlu kita luruskan di sini.
Pertama, memang rata-rata orang desa itu lugu, sederhana, berbahasa daerah, lekat dengan budaya atau kebiasaan lokal tertentu, dan cenderung hidup dalam kondisi yang homogen. Tapi, apakah hal-hal itu menjadikan orang desa sebagai kurang berbudaya dan tidak memiliki selera baik, sehingga kita mengambil istilah "ndeso" -- yang sangat terkait dengan wilayah atau orang desa -- sebagai ungkapan untuk kondisi yang kita anggap tidak "fit" pada standar nilai tertentu?
Lebih lanjut, jika demikian pendapat kita, maka apakah kita memandang orang kota selalu memiliki selera, tampilan, kebiasaan, aksen, pengetahuan, budaya, dan pemikiran yang lebih maju dan lebih baik dibanding orang desa, karena tidak pernah ada ungkapan bernada sama atau yang sebanding dengan ujaran "ndeso" bagi orang kota?
Naif dan minim sekali pemikiran kita jika itu pendapat kita, sementara kita bisa melihat bahwa orang kota pun sering kali kurang pas dan kurang berbudaya dalam tampilan atau selera mereka. Bahkan, jika mau berpikir lebih jauh, kita akan menyadari bahwa faktor ekonomi, latar belakang pendidikan, pergaulan, dan akses pada informasi dan pengetahuanlah yang lebih berkontribusi pada penampilan atau selera seseorang, bukan asal wilayah desa atau kota. Bukan hal yang tepat tentunya kalau kita merendahkan selera, tampilan, atau pilihan pihak lain, sementara hal itu disebabkan karena mereka tidak memiliki akses ekonomi, pendidikan, pengetahuan, informasi, atau pergaulan yang cukup.
Lalu, betapa ngawurnya kita jika memandang bahwa selera pada musik tertentu, logat/aksen daerah tertentu, budaya/kebiasaan tertentu, dan tampilan fisik tertentu sebagai hal yang lebih rendah atau kurang bermutu, sehingga kita katakan "ndeso".