Ini yang menyebabkan pemerintah Jepang saat ini mulai melirik meroketnya turis Asis Tenggara, cerita tentang turis Malaysia yang membawa segepok mie instan ke Jepang tentunya cukup “mengganggu” di tengah giat-giatnya pemerintah Jepang mulai menarik turis-turis dari Asia Tenggara ini. Bukan Jepang kalau tidak “responsif” mengendus peluang. Sederetan langkah secara komprehensif pun dibangun, diantaranya membikin grup yang lebih Muslim-friendly. Diantaranya menjadikan Kyoto Muslim Association sebagai advisor untuk “perpanjangan” informasi dimana saja makanan halal bisa dibeli. Bahkan beberapa hotel seperti Hotel Granvia dan Kyoto Century Hotel sudah menyediakan pilihan makanan halal. Disisi lain informasi online pun dilakukan, website yang menyediakan halal list dan Muslim-friendly pun dibangun di Kyoto.
Di dunia akademis, di tengah merangkaknya jumlah mahasiswa Indonesia dan Malaysia, mulai banyak cafetaria di dalam kampus yang menyediakan makanan halal , diantaranya Universitas Nagoya di Aichi-ken, International University of Japan di Niigata-ken. Kalau pernah menjadi mahasiswa 10-15 tahun lalu barangkali adalah hal yang sulit untuk mendapatkan serta mengkonsumsi makanan halal di cafetaria kampus. Pilihan pun terbatas hanya bisa makan sea food semata, selain itu harus mau berepot-repot ria memasak sendiri. Belum lagi toko yang menjajakan bahan makanan halal terbatas di tempat-tempat tertentu. Sekarang beberapa departemen store biasa pun mulai menyediakan makanan halal.
Dari sisi tempat peribadatan juga mengalami perubahan. Di airport Kansai, Osaka dan kampus-kampus sudah mudah ditemui beberapa masjid untuk melakukan ibadat. Sederetan policy yang mencoba membikin para turis dan pelajar muslim menjadi “nyaman” untuk tinggal di negeri matahari terbit didasarkan dari beberapa faktor:
Pertama, di tengah ekonomi Jepang yang tidak sekinclong beberapa dekade lalu terutama di sektor manufactur dimana mereka selalu leading, kini mereka menoleh ke sektor services, dan yang digarap adalah turis dan hotel services mulai digarap secara serius. Meroketnya turis yang datang dari Asia Tenggara mulai digarap secara serius. Mencomot data dari Japan National Tourism yang dirilis lewat koran Asahi Shimbun, sebuah koran dengan oplah terbesar di Jepang, dari 6,21 juta turis yang masuk Jepang tahun 2011, 80 ribu dari Malaysia dan 60 ribu dari Indonesia. Sebuah busines opportunity yang pantang untuk diabaikan. Maka kalau makanan halal mulai dibidik adalah “gurihnya” uang yang dikail dari sektor ini. Tentunya cukup mengganggu para turis yang datang di Jepang berbondong-bondong membawa makanan halal sendiri seperti salah satu turis yang membawa mie instan di tengah beragamnya mie instan yang ada di Jepang.
Kedua, turis dari negara lain yang biasa membanjiri wisata Jepang, seperti wisatawan China mulai mulai berkurang secara drastis. Apalagi ditambah hubungan Jepang-China yang “kurang harmonis” baru-baru ini karena beragam masalah, seperti masalah “rebutan” kepulauan Senkaku. Tak heran wisatawan Indonesia dan Malaysia mulai dilirik, dibidik dan mulai diservis dan diperhatikan kebutuhannya.
Dari segi bisnis, peluang apa yang bisa dibidik? Tidak banyak orang Jepang yang memahami konsep makanan halal ini. Masih banyak orang Jepang berpikir kalau makanan Halal itu yang penting tidak ada babi-nya (no pork). Padahal makanan sapi dan ayam tidak akan disentuh konsumen Muslim kalau cara menyembelihnya bukan secara Islam (slaughter by islamic rites) atau ketika memasaknya dibubuhi 醤油 (shouyu), arak Jepang yang biasa dilakukan dalam kuliner di Jepang. Tentunya menarik misalnya membikin ラーメん (ramen), sebuah kuliner Jepang yang terkenaL, yakni mie rebus Jepang yang dibubuhi daging babi, misalnya dagingnya diganti daging sapi atau ayam yang disembelih secara syariah. Tentunya banyak yang mencoba, karena ramen yang disediakan dalam untuk pembeli vegeterian saja ramai dibeli orang di Tokyo, apalagi kalau yang halal. Pasti banyak yang mau menjajalnya.
Selama ini penjual makanan halal di Jepang masih didominasi penjual dari Asia Selatan, Bangladesh, Pakistan, dan India. Sedangkan pembelinya kebanyakan dari Indonesia. Haruskah kita selalu jadi pembeli semata ??? Sebuah pertanyaan yang sedikit mengganggu ya…..berani memanfaatkan momentum ini dan mencobanya jadi penjual ramen halal misalnya?
Selamat mencoba!!
Artikel pernah dimuat di Blog Manuver Bisnis (www.manuverbisnis.wordpress.com) sebuah blog yang membincangkan bisnis, manajemen dan kewirausahawan.