Tepat hari ini 16 Oktober 2012 jatah usia saya 22 tahun akan saya lalui. Dan tiba-tiba saya merasa sangat malu menginggat tingkah saya beberapa waktu terakhir, meratapi masalah dua pihak keluarga berkali-kali menimpa diri, menyesali kenaifan saya selama ini, menangisi mimpi-mimpi yang sesunguhnya sederhana namun serasa fatamorgana. Dan akhirnya saya diam, tak mengerti apa lagi yang saya bisa lakukan sekarang. Menghabiskan waktu dikala senggang dengan memikirkan hal dunia akhirat. Saya merasa sangat ketakutan melewati batas usia 22 tahun. Saya melihat pintu-pintu peluang telah tertutup dan semua berubah menjadi tembok. Mentok. Saya telah hampir memutuskan untuk menjalani sisa hari-hari apa adanya, biarlah seperti air mengalir, begitu fikiranku. Mungkin inilah takdir kehidupan saya. Saya capek, capek sekali menjalani hidup ini.
• Tapi begitukah?
Bukankah banyak orang yang kehidupannya jauh dibawah beban mental yang saya tanggung? Dan dia damai, nyaman dan berhasil dengan keharmonisan?
Bukankah meskipun saya gagal dan gagal lagi, saya telah lebih banyak lagi berusaha untuk sabar, tawakkal, iklash dan ridho dengan keadaan ini?
Dan itu artinya saya punya modal lebih banyak dibanding orang lain saat seusia dulu?
Dengan begitu, saya bisa mencoba lagi dengan rencana lebih matang dan desain yang lebih realistis berdasarkan kemampuan yang mungkin telah ada dan saya miliki.
Maka mengapakah saya harus berhenti pasrah, padahal saya sudah jauh meninggalkan tepi keluarga hingga tak memungkinkan bagi saya untuk mundur dan kembali? Maka mengapakah saya meratapi sedang itu berarti mati? Bukankah terus melangkah dan mencoba adalah jauh lebih baik? Meskipun saya harus gagal dan gagal lagi atau mati nanti, setidaknya saya akan telah mencoba. Dan saya harus bangkit dan melangkah lagi menyusuri sisa-sisa puing kehidupan keluarga sederhana, persiapkan perbekalan mental yang matang, agar terus bernapas panjang. Tak ada kata berhenti kecuali mati.
• Pada akhirnya,
Saya berteduh makan dan minum di tempat orang yang baik lagi bijak, yang menjadikan keniscayaan hidupku ini menjadi lebih hidup dan bermakna, menjadikan sendi-sendi ini girang untuk melakukan dan menyelami hakikat filsafat kehidupan yang serba salah ini, menuntun saya ke arah yang lebih baik, ke arah yang diridhoi-Nya, ke arah yang sangat saya butuhkan saat ini. Ada malu, ada marah, ada sedih, ada bahagia, dan ada gembira.
Semua menyatu,
Kemudian menumbuhkan kesan yang tak terduga. Kaget, takzim, ketika semalam beliau memberikan sebongkah kue untuk hari saya, beliau seakan-akan menyentil saya dan meberikan pesan bahwa masih ada yang perduli dengan saya, yang tidak memandang dari sisi status sosial yang bak bumi dan langit, tidak jijik dan tidak merasa najis. Saya bersyukur ditaqdirkan oleh-Nya untuk berbaur dengan lingkungan yang sangat harmonis ini, lingkungan yang saya sangat dambakan ada di dalam kehidupan keluarga saya, semoga saja suatu saat dapat mengaplikasikan ke dalam keluarga masa depan saya yang menanti di ujung sana,
Terima kasih Ibu dan Bapak yang memperkerjakan saya, semoga Amal dibalas oleh Allah dengan sebaik-baiknya balasan,
Masa-masa akhir hayat 22 tahun, /
Menjelang dan sewaktu 22 tahun jatah hidup terlewati,
Selasa 16 Oktaber day, 2012 23.00 wib Pondok Indah jaksel,
Nb : tidak bisa berkata-kata atas kejadian " kue ultah " ini. Catatan singkat saja bagi kompasianer yang tidak sengaja membaca artikel aniv saya yang sangat berkesan ini.
Okta aditya writen.