Resiko, dalam dunia bisnis dan investasi, membutuhkan manajemen dan kontrol yang benar-benar harus konsisten dan disiplin agar resiko tersebut bisa di minimize-kan. Kalaupun resiko itu terjadi diluar dugaan, paling tidak resiko itu tidak menghabiskan margin atau modal yang ada. Begitupun dengan resiko di dalam realita hidup. Semua harus diperhitungkan dan di kalkulasikan sematang mungkin. Hingga tidak menyebabkan kegagalan yang sangat fatal dan tidak menyebabkan eksistensi manusia-nya lebih rendah daripada hewan.
Jika dunia ini panggung sandiwara, maka aktor dan aktrisnya adalah manusia itu sendiri. Seorang aktor dan aktris akan berperan sesuai perintah sutradara. Sutradara dan skenario sedikit banyaknya dapat membentuk karakter dari sang aktor dan aktris. Namun, dalam kehidupan sesungguhnya, manusia berperan tidak atas perintah sutradaranya, ia berperan sesuai perintah akal dan hatinya. Dalam hal ini Allah bukanlah sang sutradara yang dimaksud. Allah tidak akan memerintahkan siapapun untuk berperan siapa yang Dia kehendaki. Allah hanya memberi gambaran tentang rule kehidupan dan resiko yang diambil sebagai konsekuensi yang ada dalam rule itu sendiri.
Seorang aktor atau aktris bisa saja berperan ganda dalam setiap sandiwaranya. Dan sebenarnya ia memang memiliki peran ganda di dalam kehidupannya sendiri. Peran di dalam sandiwaranya, dan peran di kehidupan nyatanya. Saat memasuki kehidupan panggung sandiwara, ia berperan sebagai seorang yang dituntut sesuai skenario cerita sutradara. Dan ketika dia memasuki dunia nyatanya, dia kembali berperan sebagai dirinya sendiri dalam kehidupan sesungguhnya.
Itu hanya gambaran seorang aktor dan aktris yang sesungguhnya, sangat wajar jika sang aktor dan aktris pemain sandiwara memiliki peran ganda. Dan memang harus demikian.
• Justru yang jadi permasalahan adalah ketika manusia di ilustrasikan sebagai aktor dan aktris dalam kehidupan nyata, maka peran ganda itu bisa menjadi sebuah penyakit yang malah bisa membahayakan kehidupannya itu sendiri. Manusia seperti ini sangat membahayakan dirinya ataupun orang lain di sekitarnya. Peran ganda ini sama sekali tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan, justru sebaliknya! Secara alamiah merugikan siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
• Maksud saya,
Apa jadinya dunia ini jika orang yang berperan di dalamnya berwajah dan bermuka dua? Di satu sisi berusaha sebisa mungkin berwajah " malaikat " sementara di sisi lain berwajah " iblis " dan mencekik saudaranya sendiri dari belakang bukankah mukmin itu bak satu badan? Mengapa mukmin yang kokoh strukturalnya harus memiliki badan lebih dari satu?
Itulah masalah yang mengelitikkan jiwa kita! Walau menjadi masalah, konkrektnya hal demikian banyak ditemukan di tengah kehidupan ini.
• Saya melihat,
Di suatu lembaga swasta bernafaskan agama malah sering terjadi pembusukkan di dalamnya. Muka dua. Ya. Memang muka dua dan memang berperan ganda. Bermuka " Musa " dan setelah itu bermuka " Fir'aun " yang mengerikan. Saling sikut-menyikut untuk mendapatkan prestise dan prestasi yang tidak halal. Tak jarang pula, seorang yang bekerja di lembaga ke agamaan, mengerti dan faham tentang hukum dari agamanya, namun berperan sangat seronok malah naudzubillah dan maaf, terkesan sedikit cabul. Benar-benar aktor dan aktris yang hebat! Yang mampu berperan ganda!
• Lantas,
Mengapa justru yang melakukan tolak belakang itu adalah yang mengetahui salah benarnya dari tolak belakang yang dilakukannya.
Seperti yang saya katakan tadi, muka dua dan berperan ganda ini saling sikut menyikut berusaha mendapatkan gelar prestise hanya untuk ego masing-masing. Selain dari secuil temuan saya di lembaga bernafaskan agama, hal terdekat kita pun ada, dan tak bisa dipungkiri juga, di blog keroyokan ini sudah sangat sering disinggung mengenai akun kloning yang memang ditugaskan untuk membela arus utama akunnya, kompasiana keras katanya,
• Alhasil,
Penulis hanya bisa berkata-kata saja di dalam penanya, di keybordnya, dan di keypad handphonenya, dari jauh penulis berujar seperlunya dan saya pun mengatakan bahwa sungguh ini bukan penyakit sosial yang dibilang kecil, walaupun memang terkesan kecil, penyakit sosial ini adalah penyakit yang berbahaya dan jelas akan mengganggu eksistensi kebersamaan dan keumatan yang ada. Dan apa jadinya jika penyakit ini akan terus berkeliaran? Bukankah akan mematikan peran yang sesungguhnya akan diharapkan? Dan mungkin konsistensi yang tinggi adalah obatnya? Atau lebih parahnya mungkin tak bisa terobati dan tak pernah terobati sebelum berkalang dengan tanah dan berteman cacing di liang lahat?
Saya akhiri Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat kompasiana, walau kita tidak sepakat,
Okta Aditya dengan filsafatnya,