Kondisi tersebutlah yang dialami pasukan Sekutu yang berdiam di Ypres. Gas tersebutlah yang menjadi penyebab penderitaan itu yang akhirnya dikenal sebagai gas mustar. Dalam insiden tersebut, gas tersebut telah menyebabkan kematian pada hingga 10 ribu personil, baik secara langsung ataupun akibat komplikasinya. Lebih banyak lagi yang menderita akibat cidera yang ditimbulkan. Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa gas mustard telah menyebabkan lebih dari 90 ribu kematian dan 1,2 juga cedera yang terjadi sejak perang dunia pertama hingga saat ini.
Pada studi lebih lanjut, pasien korban dari paparan gas ini mengalami penurunan jumlah sel darah putih, baik di darah ataupun pusat produksi sel darah, yaitu sumsum tulang. Di tahun 1942, studi dari Goodman dan Gilman, dua dokter dari Yale University, berhipotesis penggunaan zat ini bisa digunakan dalam mengontrol leukemia dan limfoma, suatu jenis kanker akibat produksi sel darah putih yang tidak terkontrol.
Goodman dan Gilman kemudian bertemu dengan seorang pasien limfoma tingkat lanjut berinisial JD. Sebuah benjolan di amandel JD, kemudian membesar sehingga membuatnya tidak bisa menelan makanan. Lengan JD juga tidak bisa terlipat karena adanya benjolan besar di ketiaknya. JD diberikan gas mustar, yang dalam laporannya disebut *substance X* karena catatan buruk zat tersebut selama perang. Ternyata terdapat perkembangan positif pada JD, benjolan di rahangnya mengempis, JD bisa kembali makan dan derita yang dirasakannya membaik. Kejadian itu tercatat sejarah sebagai awal mula kemoterapi. kisah JD berakhir dengan kematian akibat efek samping dari gas mustar, dimana sumsum tulangnya digantikan jaringan lemak.
Gas mustar dikembangkan lebih lanjut untuk menekan toksisitas dan meningkatkan efek terapetik. Beberapa pengembanganan dari gas mustar digunakan sebagai obat kemoterapi bahkan hingga saat ini. Beberapa zat diantaranya seperti seperti siklofosfamide, klormabusil, uramustin, melfalan, dan bendamustin.