SEBAGAI bagian kota metropolitan, kehidupan kampus-kampus di Makassar juga mengalami transformasi sosial seiring perubahan wajah kota. Dahulu, kampus hanya dikenal sebagai tempatnya para akademisi, orang-orang terpelajar, dan aktivis vokal. Namun, sekarang ini, tampak-nya sudah benar-benar berubah. Semua model kehidupan ada di kampus. Termasuk dengan mahasiswi-mahasiswi yang memilih ‘nyambi’ menjual jasa kenikmatan.
BEBERAPA hari terakhir ini, Upeks melakukan perjalanan ke beberapa kampus ternama di Makassar. Mulai dari universitas negeri yang sangat terkemuka di Kawasan Timur Indonesia (KTI), universitas berlabel Islam dan universitas swasta lainnya, untuk menelusuri sisi lain kehidupan para kaum terpelajar di Makassar.
Sungguh sangat mengejutkan memang melihat kehidupan para mahasiswa dan mahasiswi di kota metropolitan ini. Aksi mereka tak kalah glamour dengan kehidupan para borjuis metropolitan.
Dari mana sumber dana mereka? Pertanyaan itu pun juga muncul di benak kami saat mencoba bergaul dengan beberapa mahasiswi yang glamour. Lihat saja, handphone yang digunakan lebih dari satu. Ada Blackberry dan ada juga Nokia E series yang harganya tentu tak murah.
Belum lagi dengan pakaian yang digunakan tentu saja dari luarnya saja sudah ketahuan jika yang digunakan adalah produk yang hanya ada di butik-butik di mal. Begitupun dengan make up-nya yang sudah terkesan jauh dari mahasiswi.
CH (19) misalnya, salah seorang mahasiswi di perguruan tinggi terkemuka negeri di Makassar. Mahasiswi yang mengaku berasal dari Kabupaten Pinrang itu mengaku membiayai gaya hidupnya dengan menggunakan uang hasil keringatnya sendiri.
Dia memilih ‘nyambi’ sebagai ‘ayam kampus’ untuk mendapatkan uang tambahan.
Awal mula terjun di dunia itu memang didasari faktor keterdesakan ekonomi. CH mulai mendapat pelanggan pada awal 2009 lalu, saat memasuki semester kedua di bangku kuliah. Saat itu, ia ditawari oleh teman sekelasnya, IS, yang lebih dulu menjalani profesi itu. “Teman sekelas saya yang mengajak,” ujarnya.
Ia menuturkan, tawaran itu diberikan saat ia mengeluh kesulitan dalam hal ekonomi. Apalagi, orangtuanya hanya pegawai negeri biasa sehingga uang bulanan yang dikirimkan sangat terbatas. Padahal, kebutuhan hidup di kota besar seperti Makassar sangat tinggi.
“Waktu itu, saya pinjam uang ke IS, tapi dia malah memberikan tawaran lain,” tuturnya. Saat itu, lanjutnya, ia tidak langsung menerima. Ia pun mencoba berfikir panjang untuk mencari penghasilan tambahan. Tapi, hasilnya nihil. Mencari pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA, sangat sulit. “Karena terjepit dengan kondisi ekonomi, akhirnya saya lakukan,” katanya.
Setelah memutuskan menerima tawaran itu, IS pun mencarikan pelanggan. Tidak terlalu sulit, apalagi IS telah memiliki jaringan yang cukup luas.
Karena masih perawan, IS mengajukan tawaran Rp2,5 juta. Apalagi, dengan status sebagai mahasiswa, telah membuatnya lebih berkelas dibandingkan penjaja seks lainnya. “Saya masih ingat, siapa yang pertama kali bersama saya. Salah seorang pengusaha terkenal di Makassar,” terangnya.
Setelah peristiwa itu, CH mengaku takut dan merasa bersalah. Tapi, lagi-lagi desakan ekonomi menjadi alasan. Dengan menjadi “ayam kampus”, CH menjalani kehidupan hedonis di Makassar. Bahkan, ia semakin akrab dengan tempat hiburan malam. “Sekarang bayarannya sudah beda. Sekali kencan lima ratus ribu,” katanya.
Sementara itu, RN (20) mahasiswi di salah satu universitas Islam terkemuka di Makassar, juga mengaku menjalani profesi yang sama. Berbeda dengan CH, RN tidak melakukannya karena desakan ekonomi. Tapi, ia pernah dikecewakan oleh mantan pacarnya.
“Dulu saya dekat dengan teman kampus, karena kesalahan akhirnya saya hamil tapi kemudian saya gugurkan. Namun, kami putus dan tidak ada lagi komunikasi,” ujarnya.
Karena frustasi, ia pun mengakrabkan diri dengan tempat hiburan malam dan akhirnya terjerumus dengan kehidupan seperti itu. “Awalnya free seks, hanya karena suka sama suka tanpa ada bayaran. Tapi, setelah saya pikir-pikir dan ada yang mau bayar, kenapa saya tolak,” terangnya.
RN mengatakan, di kampus, beberapa mahasiswa telah mengetahui pekerjaannya. Namun, ia mengaku tidak merasa risih. Pasalnya, yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Misalnya, kumpul kebo di tempat kostnya atau free seks dengan pacarnya. Bedanya, tidak dikomersialkan. “Lebih bagus saya dibayar, daripada yang gratisan,” ujarnya, tanpa penyesalan.
dimuat di upeks, edisi oktober2010