Sudut Ekonomi :
Bisa dibilang 80% warga sudah memiliki tempat tinggal permanen, rata-rata memiliki perkebunan yang cukup menunjang prekonomian warga. Dalam satu RW(rukun tetangga) terdapat 4 RT, secara garis besar jiwa social masyarakat sangat tinggi. Contoh saja Rumah pak sabari di bangun atas dasar gotong royong, dengan bantuan bara warga dan tetangga rumah beliaupun jadi dalam 1 Â bulan.
Kesulitan petani rata-rata dimanapun hampir bisa dibilang sama. Pertama para petani kita mempunyai hasil tani, perkebunan dan sandang pangan lain dengan jumlah dan kuliatas yang baik. Hanya saja kembali ke pasar, harga pasar sering memanipolitik harga. Bapak subari sedikit bercerita tentang harga jual hasil kebun seperti salak, jahe, tela yang sering di berikan kepada bakulan yang sering datang kerumah-rumah di jual dengan harga renda. Sebut saja harga salak 1 kilo kalau kita beli di tempat eceran bisa 7 ribu sampai 8 ribu dengan kualiatas yang saya temukan di perkebunan salah beberapa tetangga bapak sabari, dan para bakul membeli 1 kilo salak bisa dengan harga Rp.2500 sampai 3000 dan 4000. Dan setelah sampai penjual ke pembeli harga bisa 2x lipat dari harga petani, ini merupakan kondisi dimana petani sering mengeluhakan dengan ucapan âTuku Larang , Adol Murah⦠artinya kondisi harga pembeli petani jauh dari harga jual yang di alami.
Kondisi ini ialah salah satu dilemma petani secara menyeluruh, butuh peran lembang pemerintah dan lemaga swasta memikirkan solusi ini, mungkin kita perlu belajar dari irlandia, jerma atau Negara paman sam Amerika dan jerman. Dimana mereka benar-benar mengelola dan mengontrol harga yang berpihak ke para pentani. Dimana harga pasar tidak langsung di lepas ke tangan independen atau swasta tertentu melain kan membentuk lembaga koperasi yang mampu menampung dan mendistribusikan hasil-hasil petani ke pasar dengan harga yang benar-benar menyesuiakan dengan harga beli masyarakat secara luas.
Jangan sampai petani kita atau profesi sebagai petani merupakan profesi tukang gali kubur. Dan generasi penerus petani tidak terputus karena alasan bertani ialah pekerjaan kotor , kasar dan menjijikan. Pagi ini penulis belajar bagaimana rasanya ngarit(bahasa jawa) atau mencari makan buat kambing dan sapi merasakan bahwa profesi ini membuat bapak sabari nyaman, tenang dan senang itu karena beliau mencintai profesinya. Kita harus banyak belajar dari petani selaku rakyat kecil sperti tema PKL kali ini kembali kerakyat dan mengerti aktiftias dan kebutuhan rakyat.