Kita tidak perlu lagi bertemu muka satu sama lain. Dalam dunia pendidikan baik pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi akan membuat pelajar bisa belajar kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun.
Sebagaimana diakses dari Kompas.com, pembelajaran di dunia metaverse sangat menguntungkan para pelajar karena mereka dapat mengakses ke 4.500 kelas bersertifikasi Internasional dengan durasi jam pelajaran mencapai 67.500 -180.000 jam.
Di samping itu, di dunia metaverse ini pelajar di seluruh dunia bisa berkunjung ke berbagai perguruan tinggi yang mereka suka tanpa perlu membayar biaya perjalanan. Karena mereka tinggal log in ke dunia online dengan ID dan avatar masing-masing.
Dengan demikian, interaksi dengan mahasiswa dari luar negeri bukanlah sebuah kemustahilan lagi. Di sana akan terjadi pertukaran budaya dan pola pikir di antara para pelajar tersebut secara kontinyu.
Di dunia pendidikan tinggi di Indonesia, gebrakan untuk kuliah di Metaverse sudah dimulai dengan adanya kerja sama Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya dengan PT WIR Asia.
Mereka sedang mengembangkan mata kuliah di metaverse. Hal ini merupakan bagian dari ekosistem metaverse Indonesia yang akan diluncurkan akhir tahun ini pada ajang Presidensi G20.
Kita tidak bisa menampik dunia yang tengah mengalami disrupsi ganda, yang didorong oleh inovasi teknologi serta kemunculan pandemi global Covid-19 yang membuat dunia pascapandemi tidak akan sama lagi dengan sebelumnya.
Namun pertanyaan besarnya, siapkah Indonesia timur menyambut dunia metaverse ini dalam sistem pendidikannya?
Kita tahu bahwa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita di Indonesia adalah masih adanya diparitas timur dan barat.
Harus diakui, kemajuan dunia pendidikan di barat lebih maju dibandingkan dengan pendidikan di timur Indonesia. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri sebagai akibat dari kurangnya fasilitas dan sarana yang memadai. Dalam kadar tertentu bisa dikatakan ada kekurang-seriusan pemerintah memperhatikan pendidikan di sana. Barangkali, disebabkan oleh jarak yang begitu jauh dari "tungku api" negeri ini.
Lihat saja di masa pandemi ini. Di kota-kota besar yang juga merupakan pusat-pusat pendidikan, sekolah berbasis daring (online) tidak menjadi kendala berarti. Sementara di timur Indonesia banyak kendala yang ditemui.
Karena itu, learning loss akibat pandemi covid-19 paling banyak dialami oleh anak-anak di Indonesia Timur. Belum lagi penguasaan teknologi yang minim pun turut memberi andil terjadinya disparitas timur-barat ini.
Ada masalah sinyal internet yang belum merata. Ada masalah tentang alat teknologi yang diperlukan untuk memperlancar pembelajaran daring tersebut.
Dalam hal penguasaan teknologi, jangankan siswa, guru-gurunya pun masih gagap ketika dihadapkan pada alat-alat komunikasi yang dipakai guna menunjang lancarnya pembelajaran daring.
Bagaimana dengan metaverse?
Memang dunia metaverse sangat menjanjikan bagi siapa saja dalam dunia virtual, lebih lagi untuk dunia pendidikan apalagi pendidikan tinggi.
Dunia pendidikan tinggi harus menjadi bagian terdepan dalam menyongsong masyarakat dan peradapan pasca-pandemi, yang salah satu realitasnya ditandai dengan kehadiran metaverse.
Unika Atma Jaya - salah satu contoh bagus untuk pendidikan tinggi, telah menyatakan diri sebagai kampus berwawasan yang berkelanjutan, dengan cara menyiapkan generasi transformatif yang mampu menghadapi perubahan di masa depan.
Di masa depan, metaverse akan membuat seluruh aktivitas dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dalam dunia virtual.
Sekolah-sekolah akan dibangun di dunia virtual, kelas-kelas akan terdapat di dunia virtual, pembelajaran atau kuliah pun dilakukan secara virtual.
Intinya, metaverse atau meta semesta ini membuat kita dapat melakukan apa pun tanpa harus bertemu secara langsung.
Kenyataan ini mengharuskan penguasaan IPTEK yang mumpuni dan kesiapan fasilitas dan sarana prasarana yang baik.
Bagi kami yang ada Timur, ini menantang sekaligus membuat kami akan tergopoh-gopoh dan akhirnya bila tidak kuat akan tumbang.