Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

Perselingkuhan

14 November 2021   04:12 Diperbarui: 14 November 2021   06:30 204 17
Dalam sebuah tayangan video, seorang Bupati turun langsung mengecek lokasi terjadinya banjir di sebuah desa. Insentitas hujan yang tak seberapa pada malam hari menyebabkan terjadinya luapan disepanjang aliran kali; sungai. Akibatnya, desa terkena dampaknya. Ini pertama kalinya desa mengalami kejadian seperti ini.

Bupati yang turun langsung berpenampilan sederhana, berkaus kutang, celana panjang digulung tanpa alas kaki. Ia nampak mencolok dibanding para kadis dan para staf yang meninjau lokasi, berpakaian batik alias formal. Ciri khas para pejabat.

Ia mengunjungi rumah warga yang berada tepat di samping aliran sungai. Menegur para warga agar mengungsi karena derasnya aliran air menjadi tontonan. Tak berselang lama ia memantau dan menginstruksikan para kadis yang bertanggung jawab agar melakukan evakuasi.

Selanjutnya ia menginstruksikan agar membangun talud yang lebih besar agar tidak meluap. Mendengar itu saya tak melanjutkan lagi menonton. Video itu seketika membuat saya menjadi bosan. "Lagi-lagi diselesaikan dengan talud".

Sementara selang seminggu kemarin, warga satu kelurahan di Kota Ternate menggelar demonstrasi besar-besaran. Memalang akases jalan utama dan menyebabkan kemacetan parah.

Tak main-main, warga kelurahan tersebut sampai memblokade jalan utama tersebut beberapa jam. Tuntutan mereka sederhana. persoalan klasik yang hampir terjadi di semua pesisir indonesia, menolak reklamasi.

Bagi mereka, penolakan reklamasi bukan tak beralasan. Sebab, setiap kali terjadi hujan, kelurahan mereka adalah salah satu yang paling terkena dampak. Posisi kelurahan yang rendah dan hilir yang sudah terbungkua reklamasi menyebabkan air tak dapat mencapai laut.

Reklamasi yang sedang berlangsung pun berjalan tepat di lokasi strategis. Di mana pada proyek reklamasi tersebut merupakan hutan kawasan mangrove. yap saya jadi ingat betapa banyaknya mangrove di lokasi ini.

Kini, mangrove tersebut sudah tertimbun proyek reklamasi. Hanya untuk membangun gudang multiguna milik investor.  Tentu saja atas izin pemerintah daerah.

*
Dua kejadian ini memiliki urgensi yang berbeda tapi bertalian erat dalam suatu persoalan, banjir dan afiliasi kepentingan bisnis.

Persoalan banjir pada kasus pertama ibarat konsep klasik yang terus digunakan. Talud selalu menjadi solusi menangani perkara banjir. Di mana-mana pembangunan talud baik aliran sungai (DAS) atau pantai selalu hadir dalam setiap usulan anggaran. DAK fisik selalu tercantum item pembangunan ini.

Tak ada yang salah, akan tetapi menurut hemat saya, tidak semua persoalan banjir diselesaikan dengan pembangunan talud.

Masih ada yang lebih urgen yakni hilangnya talud alami di hulu karena kepentingan bisnis. Banyak sekali izin operasi diterbitkan guna mengeruk dan melakukan operasi koorporat di hulu.

Tambang, dan perusahaan kayu leluasa melakukan operasi yang kadang tak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Orientasi profit sepertinya lebih terdepan dari segala-galanya.

Pemerintah mengetahui hal ini, walau proses perizinan sekarang milik pusat. Tetapi praktek operasi berada di depan mata dan tak ada fungsi kontrol yang kuat.  Alih-alih mengontrol, para pejabat lebih hobi ngopi bersama para koorporat dan tampil di halaman depan media cetak.

Sementara pada kasus kedua, kegeraman masyarakat tidak adanya alternatif kebijakan yang menggantikan proses pembangunan. Pada akhirnya warga terkena dampak hanya karena "ego" pembangunan.

"Ego pembangunan" mengabaikan fakta-fakta sosial masyarakat sekitar. Hal ini sudah menjadi catatan umum di mana setiap reklamasi selalu merugikan masyarakat setempat. Mulai dari perkara ganti rugi, akses masuk, tambatan yang hilang, dll.

Kedua kasus ini, mengingatkan saya ketika melakukan diskusi dengan salah satu dosen. Bahwa sebaik apapun perencanaan jika pemerintahnya tak baik maka tidak berarti apa-apa.

Pemerintah sebagai eksekutor adalah pembuat kebijakan sebaik-baiknya kebijakan. Akan tetapi jika kebijakan perbaikan dari hulu yang di rancang bertentangan dengan kepentingan konglomerat yang berafiliasi dengan pemerintahan maka jadilah sia-sia.

Inilah ribetnya, ketika ada afiliasi kuat antara pemerintah dengan konglomerat. Sebagus apapun kebijakan selalu merugikan kalangan tak berkepentingan.

Jika ditarik benang merah antara kedua kasus, sama-sama merugikan masyarakat lantaran kebijakan pembangunan yang dikeluarkan justru berdampak negatif.

Kasus pertama misalnya, daerah ini merupakan salah satu daerah yang di diami pertambangan dan segala jenis  kegiatan pengolahan kayu. Pemiliknya punya nama besar dan wara wiri masuk orang terkaya di Indonesia.

Pun dengan kasus kedua di mana pembangunan reklamasi hanya untuk  kepentingan satu orang pengusaha yang hendak membangun gudang multifungsi. (sukur dofu-dofu)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun