Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Para Pejabat Dipaksa untuk Mendengar Anak

30 Agustus 2012   04:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 243 5

Saya, dan banyak aktivis anak lain, dengan berbagai alasan, selalu menghindari untuk memperingati Hari Anak Nasional. Kami lebih cenderung memilih Hari Anak Internasional atau hari-hari yang bersinggungan dengan persoalan anak, untuk membuat beragam acara. (salah satu alasan mendasar, bisa dilihat dari postingan Zainal Abidin, kompasianer dari Solo yang aktif dalam gerakan anak, di SINI).

Ketika seorang sahabat, datang dan meminta saya untuk menjadi moderator sarasehan yang akan menghadirkan para pemangku kepentingan dan perwakilan anak-anak dari berbagai desa di Kebumen, saya menerima dengan syarat.

Syarat yang saya ajukan adalah anak-anak yang harus banyak berperan, sehingga pada posisi ini, anak-anaklah yang melakukan presentasi atau menyatakan pandangannnya, hal mana para pemangku kepentingan hanya memberikan respon dan memberikan komitmen untuk kepentingan anak-anak sesuai dengan Tugas, Pokok dan Fungsi instansi mereka.  Kedua, agar anak-anak juga siap sebagai wakil dari anak-anak yang lain, bukan mewakili pribadi, maka, perlu ada workshop bagi mereka untuk mendiskusikan persoalan dan harapan yang akan disampaikan.

Syukurlah, setelah melalui dialog, sahabat itu menerima persyaratan yang diajukan. Diskusi berikutnya adalah menentukan teknis penyelenggaraan, terutama tentang waktu yang dipilih yang tidak mengganggu kegiatan belajar anak: Hari Minggu.

Persyaratan yang saya ajukan bukanlah hal yang mengada-ada. Belajar dari pengalaman , banyak kegiatan anak-anak yang menghadirkan para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat, pada kenyataannya, anak-anak berada pada posisi pasif, yaitu hanya mendengar “wejangan-wejangan” yang seringkali bersifat normatif dan membosankan. Acara anak, justru menjadi acara untuk menjejali anak-anak secara sepihak dengan berbagai kepentingan orang dewasa.

Anak-anak bisa memahami realitas diri dan lingkungannya. Anak-anak bukanlah barang mati. Ia bisa merekam segenap peristiwa dan mengambil pelajaran dari kehidupan. Maka, anak-anak, pastilah lebih bisa memahami masalahnya sendiri, dan mendorong atau menyuarakan aspirasi mereka kepada para pemangku kepentingan yang berkewajiban untuk menjaga, melindungi dan memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak.

Sebelum pelaksanaan, sahabat saya menlpon. Ia kesulitan untuk mendapatkan istilah yang akan ditujukan kepada para pemangku kepentingan. Secara sederhana saya menyampaikan, disebut saja sebagai penanggap dan narasumber.

Sekitar lima jam setengah, sejak pukul 09.00 – 14.30, diselingi istirahat, anak-anak berproses untuk mengidentifikasi masalah-masalah anak, mendiskusikan prioritas masalah yang harus segera ditangani oleh pemerintah, dan mendiskusikan gambaran tentang kehidupan anak yang bahagia. Diskusi dilangsungkan ke dalam 10 kelompok anak yang merupakan gabungan dari desa yang berbeda.

Selesai workshop, acara langsung dilanjutkan dengan sarasehan. Hadir perwakilan dari berbagai instansi tingkat Kabupaten yakni: Bappeda, BP2AKB, Disnakertrans, Dinkes, dan Dikpora. Perwakilan dari DPRD Kabupaten tidak hadir tanpa penjelasan.

Selesai anak-anak presentasi, barulah perwakilan dari berbagai instansi itu merespon dan memberikan komitmen-komitmen untuk menangani persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh anak-anak.

Tapi begitulah, pada setiap acara anak-anak,  ciptakan anak-anak menjadi subyek, menjadi sosok yang bisa menikmati acara mereka dengan hati riang gembira sehingga bisa membebaskan diri mereka untuk tidak takut berekspresi dan menyampaikan pandangan-pandangannya.

Merdekalah anak Indonesia, sejahteralah anak-anak dunia.

Yogyakarta, 30 Agustus 2012 (Odi Shalahuddin)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun