Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Kesaksian Emha Ainun Nadjib atas Kepenyairan Simon Hate

2 Desember 2011   17:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 831 8
[caption id="attachment_147002" align="aligncenter" width="516" caption="Salah satu pertunjukan yang ditampilkan, dengan setting di sebuah cafe"][/caption]

Sekarang kalau kita ngomong manusia, kebudayaan, peradaban, sudah hancur semuanya. Manusia sudah tidak punya kepantasan untuk disebut sebagai manusia. Begitu pula kebudayaan yang dikerjakannya, dan keseluruhan peradaban yang kemudian berlangsung bersama-sama, apakah itu masyarakat, apakah itu iman, apakah itu komunitas, society, bangsa, dan Negara itu sendiri, sesunguhnya sudah pada kehancuran kualitatif, kehancuran karakter,  kehancuran nilai-nilai yang kita tinggal menunggu endingnya atau puncaknya.

Malam hari ini kita menjunjung Simon. Mengangkat, menghormati, dan meletakkan beliau pada satu derajat nilai kemanusiaan kehidupan. Tapi kalimat ini salah tampaknya. Simon, kalau kita junjung ke suatu tempat, berarti dia berada di tempat yang rendah, sehingga kita tinggikan dia.  Simon sudah berada pada derajat itu. Jadi bukan Simon ingin kita hormati dan kita junjung, tapi kita sebagai manusia memiliki patokan nilai bahwa kita wajib menjunjung dan menghormati beliau.

Simon, tidak punya kebutuhan untuk dihormati, bahkan dia tidak punya kebutuhan untuk diakui.  Jangankan sebagai penyair, sebagai Simon sendiri saja dia tidak harus diakui. Maka dia tidak pernah memperjuangkan diri, tidak pernah menonjol-nonjolkan diri, bahkan dia tidak ber-karier di bidang kepenyairan. Karena dia sangat curiga terhadap kata ”karier” sejak mudanya waktu dia masih sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sebagai yuniornya Halim Hade.

Yang utama pada Simon itu karena dia sanggup memerdekakan diri dari gejala-gejala dunia yang berlangsung, yang pasti dia masuk pada kesanggupan dia untuk memilih menjadi seperti dia yang ada sekarang ini. Kesanggupan untuk merdeka, kemerdekaan trandensial, kesanggupan untuk menjadi manusia sebagaimana dia yakini dan dia pilih. Jadi saya kira yang nomor satu pada Simon adalah kebenaran dia dalam memilih nilai yang dia jalankan. , Dan dia menjalani pilihannya itu dengan sungguh-sungguh. Setia menjalaninya berpuluh-puluh tahun. Setia dalam keadaan sehat dan dalam sakit seperti tahun-tahun terakhir. Dan dia tidak pernah menagih terhadap siapapun karena dia ikhlas terhadap apapun.

Simon dibesarkan di era 70-an. Ketika itu di dalam dunia sastra dan teater, sastra dunia sangat hidup pada waktu itu. Misalnya setiap orang teater selalu mengenal dan mengucapkan setiap hari kalimatnya Shakespeare: To be or not To Be. Kalau Rendra  menterjemahkan mengada atau tidak mengada itulah soalnya atau kalau Trisno Sumardjo menterjemahkannya menjadi atau tidak menjadi.

Jadi:  To be ini Oleh Simon kalimat itu direkonstruksi untuk dirinya. Bagi Simon tidak penting menjadi penyair atau tidak. Sampai hari ini. Bahkan tidak penting untuk menjadi apapun. Akhirnya saya tahu, dia pengikut Tuhan yang luar biasa. Tuhan melalui nabi-nabinya, mengatakan bukan siapa engkau yang penting tapi apa yang engkau lakukan. Bukan To be. Bukan budi bukan kau Doktor, bukan kau presiden, bukan kau Penyair atau apapun, tapi produk-produk sosialmu menumbuhkan dunia atau tidak? Menumbuhkan kemashlahatan atau tidak? Menumbuhkan kesuburan kemanusiaan atau tidak Jadi saya kira berpuluh-puluh tahun  banyak orang,t ermasuk saya sendiri tidak bisa menemukan pada segi apapun dari Simon yang harus dihormati. Karena selama ini kan parameternya orang itu harus hebat, kaya, punya reputasi, punya title sedemikian rupa, titel budaya, title keagamaan, dan Simon bersih dari semua itu. Simon tetap Simon dengan karakter dan nilai-nilai dirinya sendiri. Simon tahu bahwa ia tidak perlu menjadi orang hebat, apalagi hebat untuk menghebati orang lain. Dan Simon belum pernah menghebati orang lain. Bahkan dia bisa senyam-senyum saja mendengarkan ribuan kalimat di depan mata dan seputar telinganya yang tidak disetujuinya.. Simon tidak ingin mengalahkan siapa-siapa

Oleh karena itu kalau kita sekarang  mendengar puisi-puisi Simon, itu bukan puisi-puisi dari orang yang punya ambisi atau mencari eksistensi sebagai penyair. Sekarang kita mendengarkan puisi Simon adalah puisi-puisi yang benar-benar murni  merupakan hasil perundingan naluriah dia dengan Tuhan. Dia dengan Tuhan dalam kalbunya yang sangat sunyi, sangat remang-remang, dan tidak seorangpun atau satu makhluk-pun tahu.

I Love you Simon. Dan saya kira semua mencintai Simon karena dia lulus dari segala gegap gempita yang sama sekali tidak sanggup mengkontaminasi sosok seorang bernama Simon Hasiholan Tambunan.

Catatan:

Ditranskrip dari kesaksian Emha Ainun Nadjib atas kepenyairan Simon Hate dalam rekaman film yang ditampilkan dalam acara  Pertunjukan dan Baca Puisi Simon Hate "Perceraian Adam dan Hawa" pada 2 November 2011 di karta Pustaka Yogyakarta.

Baca juga postingan:

Pembacaan Puisi-puisi Simon Hate di Karta Pustaka Yogyakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun