DI Uruguay, tahanan politik tidak boleh bicara tanpa ijin. Juga tidak boleh bersiul, tersenyum, menyanyi, berjalan cepat, menyapa sesama tahanan lainnya. Mereka juga tak diijinkan membuat atau menerima foto atau gambar-gambar perempuan hamil, sepasang kekasih yang bersanding, kupu-kupu, bintang-bintang di langit atau burung yang sedang terbang atau hinggap di rerantingan.
Pada suatu minggu yang cerah, Didasko Perez, seorang guru yang dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa oleh rejim militer hanya karena memiliki gagasan ideologis, dikunjungi oleh anak perempuannya, Milay namanya, berusia lima tahun. Milay membawakan ole-ole untuk ayahnya gambar burung-burung yang riang bersijingkat yang dibikin olehnya. Di pintu gerbang halaman, sebelum Milay memasuki pintu penjara, penjaga mencabik-cabik gambar itu. Dan Milay hanya bisa menahan tangis dan sedih di dalam hatinya.
Pada minggu berikutnya, Milay yang selalu kangen kepada ayahnya membawa gambar pepohonan yang nampak rimbun dan hijau. Gambar pepohonan tak dilarang, dan hasil karya Milay itu berhasil masuk ke dalam penjara. Didasko Prez memuji hasil garapan anaknya, dan dia bertanya tentang bulatan-bulatan kecil mungil berwarna kuning kemerahan yang tersembunyi di balik cabang dan rerantingan pohon yang rimbun, dan ada pula yang bertengger di pucuk ranting di antara kehijauan daun: “Apakah itu buah jeruk, atau buah apakah itu, yang?”
Milay, bocah yang masih duduk di taman kanak-kanak itu mendekatkan jarinya ke bibir,sssstt…..merapatkan diri dan berbisik di telinga ayahnya, “Papa jangan konyol. Apa papa tidak lihat mata mereka? Lihat, lihatlah itu mata mereka. Mata burung yang saya selundupkan untuk papa”.
(Burung Larangan, Eduardo Galeano,Century of the Wind, hal 231, buku ketiga trilogiMemory of Fire)
***
“Burung Larangan” seperti terkutip di atas, itulah esai pembuka yang dibacakan oleh I Made Astika dalam acara ”Sastra dan gerakan Kaum Perempuan di Amerika Latin: pembacaan Esai-esai Rigoberta Menchu dan Eduardo Galeano” yang berlangsung semalam (23/11) di Pendopo Karta Pustaka Yogyakarta.
Berikutnya, “Kekuatan dan Kesetiaan” adalah esai kedua yang dibacakan oleh Fauziah Syahila tentang sebuah persahabatan dan komitmen.
Esai-esai Eduardo Galeano yang diterjemahkan oleh Halim HD, seorang pekerja seni yang dikenal sangat aktif membangun jejaring kesenian/kebudayaan di Indonesia ini, dibacakan secara bergantian oleh I Made Astika, Fauziah Syahila, Budi Yusanti Parola, Retno Indraswari Mutia Sukma dan Halim HD sendiri.