Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Menghidupkan Kembali Jalan Tengah: Upaya Merestorasi Akal Sehat dalam Demokrasi yang Terpolarisasi

20 Januari 2025   21:54 Diperbarui: 20 Januari 2025   21:35 24 1
Dalam dasar dinamika politik saat ini, jalan tengah yang dulunya dianggap sebagai kunci kemenangan elektoral telah mati. Di tengah polarisasi yang kian tajam, tidak ada lagi ruang bagi mereka yang memilih untuk tidak berpihak. Masyarakat kini terjebak dalam dikotomi ekstrem: "bersama kami" atau "melawan kami." Mereka yang memilih untuk berdiri di tengah kerap dicap sebagai pengecut atau tidak memiliki keberanian untuk menentukan sikap, seolah keberpihakan adalah syarat mutlak dalam praktik demokrasi kita.

Namun, meski bersikap netral terhadap kejahatan ekstrem adalah logika sikap yang tidak dapat dibenarkan, penting untuk merevitalisasi jalan tengah demi menjaga keberlangsungan wacana publik yang sehat. Warisan pemilihan presiden 2014 bukan hanya sekadar perpecahan sosial, tetapi juga kematian akal sehat---sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kewarasan di tengah iklim politik yang semakin toksik. Tanpa akal sehat, kedua kubu terus berkompetisi dengan cara yang destruktif, tanpa menyadari bahwa mereka bergerak ke arah yang salah.

Realitas politik menunjukkan bahwa baik pihak pemerintah maupun oposisi kerap menggunakan strategi yang dipertanyakan, seperti disinformasi dan manipulasi logika, untuk membingungkan pemilih alih-alih mencerdaskan mereka. Dari sudut pandang politik praktis, strategi semacam ini mungkin dianggap efektif untuk memenangkan suara. Namun, dalam jangka panjang, hal ini justru merusak tatanan sosial dan menghambat terciptanya demokrasi yang ideal. Demokrasi yang sehat memerlukan pemilih yang terinformasi dengan baik, bukan yang disesatkan demi kepentingan jangka pendek.

Sebelumnya, saya pernah menyampaikan pentingnya pendekatan pragmatis dalam memenangkan pemilu. Saya tetap berpegang pada prinsip tersebut karena dalam realpolitik, kekuasaan adalah mata uang utama. Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa politik sejatinya adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan publik. Efek psikologis dari strategi elektoral yang manipulatif terhadap masyarakat tidak bisa diabaikan. Sebagai seorang pragmatis, saya memahami bahwa kompromi terhadap idealisme kadang diperlukan. Namun, sebagai seorang idealis, saya juga percaya bahwa demokrasi yang sejati harus berlandaskan pada kebenaran.

Mencapai keseimbangan antara pragmatisme dan idealisme sangatlah krusial. Meskipun politik elektoral sering kali bersifat oportunistis, kita tidak bisa menutup mata terhadap dampak negatifnya terhadap pembelajaran demokratis masyarakat. Harus ada pihak yang berani mengkritisi kesalahan dari kedua kubu demi menjaga keseimbangan. Secara tradisional, media memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengungkap berbagai penyimpangan. Namun, dalam kondisi saat ini, media tampaknya kehilangan daya kritisnya dalam mempertahankan ketidakberpihakan. Saya sendiri tidak percaya bahwa media bisa benar-benar netral, namun perannya dalam menjaga akuntabilitas tetap penting.

Tantangan terbesar yang kita hadapi saat ini adalah masyarakat yang semakin terpolarisasi. Setiap kritik, betapapun konstruktifnya, sering kali disalahartikan sebagai bentuk keberpihakan. Mengkritik pemerintah dianggap sebagai dukungan terhadap oposisi, sementara mengkritik oposisi dianggap sebagai bentuk loyalitas terhadap pemerintah. Paradigma semacam ini hanya akan mempersempit ruang diskusi yang sehat dan menurunkan kualitas demokrasi kita menjadi sekadar ajang adu domba.

Kita harus mampu bersikap kritis tanpa dianggap sedang melemahkan salah satu pihak. Kritik yang sehat seharusnya dilihat sebagai upaya memperkuat kesadaran pemilih, bukan sebagai serangan terhadap lawan politik. Demokrasi yang baik tidak berarti menyetujui segala hal yang disajikan kepada kita, tetapi justru menuntut kita untuk berpikir kritis. Kesetiaan pemilih seharusnya hanya kepada kepentingan mereka sendiri, bukan kepada figur atau kelompok tertentu. Kurangnya pemikiran kritis akan memperburuk kondisi demokrasi dengan membatasi kemampuan pemilih untuk menentukan pilihan terbaik bagi mereka.

Oleh karena itu, menghidupkan kembali jalan tengah menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Kita harus mampu bersikap objektif dan berpihak hanya pada kepentingan publik. Mengkritisi kebijakan dan tindakan yang tidak masuk akal harus menjadi bagian dari tanggung jawab masyarakat sipil, tanpa perlu takut dicap sebagai lawan politik. Akal sehat harus direvitalisasi dan dilindungi agar tidak lagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusaknya demi kepentingan politik semata.

Tentu saja, menemukan posisi jalan tengah bukanlah perkara mudah. Butuh legitimasi publik untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar objektif, bukan sekadar berpura-pura netral untuk kepentingan tertentu. Namun, di era disinformasi dan kebenaran yang semakin kabur ini, jalan tengah adalah satu-satunya harapan bagi publik untuk melawan degradasi politik. Akal sehat harus menjadi senjata utama dalam menghadapi arus politik yang semakin manipulatif.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun