Ada sejumlah poin signifikan yang menjadikan monorel sebagai solusi positif untuk mengatasi masalah kemacetan Jakarta yang makin kronis dan kritis, antara lain penggunaan jalur layang yang tidak membebani jalan raya, ramah lingkungan karena bisa memakai tenaga listrik atau magnet sebagai penggerak, dapat diintegrasikan dengan moda transportasi yang sudah ada seperti busway dan kereta komuter, pembangunan jalur monorel lebih mudah dan murah ketimbang moda transportasi kereta bawah tanah (MRT), dan sebagainya. Sayangnya, sampai hari ini realisasi pembangunan monorel di Jakarta lagi-lagi berhenti di tengah jalan alias mangkrak, meski pun Gubernur DKI yang baru, Joko Widodo (Jokowi), telah melakukan groundbreaking proyek monorel pada 16 Oktober 2013. Apa sebenarnya yang menjadikan proyek monorel Jakarta ini terus-menerus terkendala?
Untuk membahas isu tersebut, pada tanggal 24 Mei 2014 PT Jakarta Monorail (PT JM) selaku partner kerjasama Pemprov DKI dalam proyek monorel Jakarta mengajak Kompasiana dan para Kompasianer untuk berdiskusi. Acara yang diselenggarakan di Outback Steakhouse, Kuningan City Mall, Jakarta Selatan, tersebut menghadirkan beberapa tokoh pembicara, antara lain Prof. Tjipta Lesmana (pakar ilmu komunikasi politik Universitas Pelita Harapan), Dharmaningtyas (pengamat transportasi), dan Lukas Hutagalung (konsultan bidang infrastruktur Public Private Partnership Bappenas). PT JM diwakili oleh John Aryananda selaku Direktur Utama. Meski sempat molor dari jadwal semula, yakni pukul 09.30 WIB, acara bertajuk Nangkring Bareng Kompasiana PT Jakarta Monorail dengan tema Jakarta Monorail : Persoalan Infrastruktur atau Politis? yang dimoderatori oleh Laksono Hari Wiwoho , editor Megapolitan Kompas.com berlangsung seru dan intens.
PT JM selaku tuan rumah acara hendak ‘berbagi’ persoalan yang dihadapi PT JM terkait proyek monorel Jakarta yang tak kunjung move on semenjak momen groundbreaking di kawasan Setiabudi Utara -tepatnya di depan Hotel Four Season, Kuningan, Jakarta Selatan, oleh Jokowi pada Oktober lalu. Padahal penetapan PT JM sebagai partner kerjasama Pemprov DKI dalam proyek monorel sudah disepakati sejak tahun 2003 saat Jakarta dipimpin Gubernur Sutiyoso. Dalam kesepakatan, PT JM akan membangun dua jalur monorel, yakni Green Line (Jalur Hijau) dan Blue Line (Jalur Biru). Monorel Jalur Hijau akan melayani rute Semanggi-Casablanca-Kuningan-Semanggi (15 stasiun), sedangkan Jalur Biru akan melayani rute Kampung Melayu-Casablanca-Tanah Abang-Roxy (13 stasiun).
Soal mengapa proyek monorel terus saja mangkrak, John Aryananda mengatakan pihaknya merasa kasus monorel telah dipolitisir. “Pemprov DKI Jakarta sudah memilih bekerjasama dengan kami, tetapi kenapa sekarang kesannya dipolitisasi?” ujar John. Ia juga menyesalkan pernyataan Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), di media yang meragukan kemampuan finansial PT JM. "Pak Wagub pernah bilang 'gua kira mereka (PT JM) enggak ada uang'. Ini sangat mempengaruhi bisnis kita. Apalagi Pak Wagub kan pejabat yang bersih. Kalau yang mengatakan itu pejabat yang tidak benar, kita tentu tidak pusing," kata John. Menurutnya, Basuki tak sepatutnya melontarkan pernyataan demikian karena sebagai pejabat publik perkataannya dapat berdampak terhadap suatu kebijakan. John mengatakan, beberapa investor yang tergabung ke dalam konsorsium PT JM, seperti SMRT International dari Singapura, dan China Communications Construction dari Tiongkok, mempertanyakan seputar keseriusan Pemprov DKI terhadap proyek tersebut. "Investor sampai mempertanyakan ketegasan pemerintah ke proyek ini. Mereka jadi memperhitungkan pinjaman mereka," ungkapnya. Padahal proyek monorel yang ditangani PT JM sepenuhnya tidak memakai dana APBD melainkan murni dari pihak PT JM dan konsorsium.
Sebagai pengamat transportasi, Dharmaningtyas berpendapat bahwa jalur monorel yang sekarang hanya efektif untuk jalur makan siang sebab semuanya merupakan daerah tujuan perjalanan, bukan daerah asal tujuan perjalanan. Menurutnya, PT JM harus melakukan survei demand. “Transportasi akan efektif jika menggabungkan daerah asal perjalanan dan daerah tujuan perjalanan,” jelasnya. Dharmaningtyas mengemukakan bahwa pada awalnya persoalan yang dihadapi memang murni masalah infrastruktur. Pada era Gubernur Fauzi Bowo alias Foke kerjasama Pemprov DKI dengan PT JM pernah diakhiri. Hal ini diduga kuat karena Foke tak melanjutkan cetak biru pola transportasi makro Jakarta yang dibuat Sutiyoso. Pernyataan ini diamini oleh Prof. Tjipta Lesmana. Menurut Tjipta Lesmana, berdasarkan perbincangannya dengan Sutiyoso, Foke memang menghentikan nyaris semua proyek transportasi (kecuali 1 koridor busway) yang digagas Sutiyoso, termasuk monorel.
Menanggapi pernyataan Dharmaningtyas, John Aryananda menegaskan tak ada satu pun transportasi massal yang secara individual efektif. Karenanya harus ada integrasi angkutan publik, antara lain melibatkan feeder. Itu adalah tugas dan tanggung jawab Pemprov DKI. “Planning di dinas Tata Kota sudah lengkap. Pemprov harus menentukan koridor mana yang akan diintegrasikan,” ujarnya. John mengemukakan bahwa PT JM sudah melakukan survei. Jika sistem feeder dipotong, maka monorel akan minim penumpang. Ia berharap Pemprov DKI tegas dalam mengambil keputusan. “Yes or no,” katanya. Menurutnya, pada kesepakatan kerja sama awal di tahun 2003 tidak ada planning untuk menghubungkan jalur dari mall ke mall, padahal inilah yang dibutuhkan agar kelas menengah ke atas mau beralih dari mobil pribadi. Lebih jauh John Aryananda memaparkan bahwa proyek transportasi massal, seperti halnya monorel, menciptakan peluang-peluang bisnis yang luar biasa, antara lain bisnis properti pada jalur yang dilaluinya. Ia mengibaratkannya sebagai bisnis telur yang menghasilkan ayam.
Di lain pihak, Lukas Hutagalung dalam kapasitasnya sebagai konsultan bidang infrastruktur Public Private Partnership Bappenas menjelaskan bahwa PKS adalah sistem konsesi, bukan privatisasi. Selama masa konsesi PT JM bertindak selaku operator, namun status kepemilikan (properti) tetap di tangan Pemprov DKI. Lamanya proses penjajakan dengan pihak swasta –dalam hal ini PT JM, dikarenakan menyangkut investasi yang besar serta lamanya masa operasi monorel yakni sekitar 50 tahun. “Selama ini Pemprov DKI terbiasa mengerjakan sendiri sehingga saat berpatner Pemprov perlu berpikir panjang,” ujar Lukas. Ia mengatakan bahwa untuk mengubah mindset Pemprov DKI, PT JM harus bisa menyakinkan mereka bahwa PT JM juga bertanggung jawab atas proyek monorel tersebut mengingat PT JM memiliki dana konsorsium yang cukup besar.
Sementara itu, Prof. Tjipta Lesmana berpendapat Jakarta sangat memerlukan monorel dan pemerintah pusat harus turun tangan, antara lain dalam soal pendanaan, pembebasan lahan, dan sebagainya. “Kemacetan bukan cuma tanggung jawab Pemprov DKI,” tegasnya. Pakar komunikasi ilmu politik tersebut menengarai memang ada aroma politisasi dalam proyek monorel. “Kenapa pemerintah justru mengijinkan mobil murah? Ini kan akan menambah kemacetan. Mobil murah adalah cara terselubung untuk menghajar Jokowi,” tandasnya. Mengenai persoalan yang dihadapi PT JM terkait masih mangkraknya proyek monorel Jakarta, Prof Tjipta Lesmana menegaskan bahwa PT JM perlu duduk bersama dan berunding lagi khususnya dengan Wagub DKI (yang kini menjabat Plt Gubernur). Bicara dari hati ke hati. Menurutnya masing-masing pihak harus membangun rasa saling percaya serta harus sepakat bahwa Jakarta butuh monorel. “Masalah apa pun –yang diciptakan manusia- bisa kita selesaikan jika kita punya itikad baik,” tegas Tjipta Lesmana.
Diskusi yang disiarkan langsung via Radio Motion FM ini ditutup dengan makan siang bersama dengan menu yang lezat. Bukan itu saja, para Kompasianer juga dihadiahi suvenir berupa T-Shirt, note pad, dan mug bertuliskan Nongkrong Kompasiana Bareng PT Jakarta Monorail.
Tentunya warga Jakarta sangat berharap polemik monorel bisa segera diselesaikan dengan baik. Apalagi awal Juni kemarin Ahok selaku Plt Gubuernur DKI telah mengatakan di media (megapolitan.kompas.com 3 Juni 2014) bahwa proyek monorel tetap harus dilanjutkan karena merupakan bagian dari transportasi makro Jakarta. Ya, Jakarta sangat perlu monorel. Kunci terpentingnya adalah monorel di Jakarta bisa diwujudkan asalkan ada rasa saling percaya dan itikad baik antara pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan. Monorel @ Jakarta : perlu dan bisa!! Salam Kompasiana.
Octaviana Dina
Jakarta, 3 Juni 2014