Kaya?? Apa yang terlintas dalam benak kita saat mendengar kata itu?? Ingin seperti itu?? Semua orang pasti!!! Lalu apa yang menjadi tolok ukur tingkat “kekayaan” itu?? Beberapa dari kita pasti akan menjawab HARTA. Lalu harus berapa banyak harta yang tertimbun untuk menggolongkan diri menjadi kaum the have??Relatif, yups mungkin memang relatif, sebab ada beberapa orang dengan apa yang dia miliki sudah menganggap dirinya cukup kaya, namun orang lain yang memandangnya tidak demikian.
Mana yang lebih beruntung, mereka yang mengukur kekayaan dengan HARTA atau dengan HATI?? Hmmm,,,mungkin akan timbul pertanyaan baru, memang kaya bisa di ukur dengan hati? Dan jawabannya “why not”? Orang yang menjadi “budak” harta hidupnya pasti sarat dengan hal-hal yang berorientasi pada duniawi. Mobil mewah, rumah megah, fasilitas highclass tidak akan menjadikan diri mereka puas dan selalu ingin mendapatkan yang lebih dan lebih hingga menjadi yang “paling”. Hidupnya tidak akan tenang jika ada yang melebihi apa yang dimiliki.
Jauh berbeda dengan mereka yang mementingkan kekayaan hati bukan kekayaan harta. Tipe orang yang seperti ini, tidak akan peduli apakah apa yang mereka miliki secara kasat mata tergolong kaya atau tidak, semua itu ada di tangan Allah, sebab bagi mereka yang terpenting adalah kekayaan hati.
Para pejuang dunia yang apabila diberi cobaan pada apa yang mereka miliki, akan merasa dirinya sangat rugi dan terbang rasa ikhlasnya. Mobil, rumah, perhiasan yang mereka miliki tidak pernah menjadikan diri mereka puas dan selalu timbul kekhawatiran apabila tidak dapat memenuhi nafsu duniawi. Sedang orang yang memiliki kekayaan hati selalu bersyukur atas apa yang telah mereka miliki. Jika tertimpa kekurangan tidak akan larut dalam kesedihan dan jika memperoleh kekayaan tidak akan menjadikannya senang hati melampaui batas. Jadi, siapa yang pantas disebut kaya di antara keduanya??
Sungguh, betapa kayanya orang yang pandai bersyukur. Kalau hanya dibenarkan untuk bersyukur saja kapan berikhtiarnya? Nah itulah mengapa dikatakan “pandai” bersyukur, bukan “asal” bersyukur. Orang yang asal bersyukur, tentu hanya sekedar menerima saja apa yang telah digariskan kepadanya tanpa ada semangat untuk merubah segala sesuatunya menjadi lebih baik.
Kaya dan miskin adalah fenomena tak berumus. Kerja keras tak selalu berujung kaya. Kemalasan juga tak selalu berujung miskin. Tapi Allah menghargai orang yang mau berusaha, bekerja keras dan memeras keringat demi mencapai apa yang dia inginkan. (SANDIWARA LANGIT, karya Abu Umar Basyier)