Nah, mari kawan. Kau lihat bandara ini? Cukup megah kan? Inilah bandara baru di kota Makassar, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, dibuat ketika Jusuf Kalla masih menjabat sebagi orang nomor dua di Republik ini. Kau lihat semua kendaraan yang terparkir itu? Ada mobil pribadi, taksi, motor pribadi dan motor sewaan alias milik tukang ojek. Semua kendaraan yang terparkir itu tentu akan membayar tempat parkirnya termasuk kendaraan sewaan. Tetapi anehnya, ketika kau menggunakan taksi sebagai tumpangan, maka setiap taksi yang memasuki wilayah ini akan dipegangkan sebuah kartu parkir bagus. Tapi, bagaimana dengan para tukang ojek itu? Mereka pun harus membayar uang parkir jika ingin mencari penumpang pesawat, tidak menggunakan kartu melainkan kertas parkir. Bukan menjadi persoalan andai kata setiap kali memarkinkan motornya, penumpang pun datang antri untuk menggunakan jasa mereka. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bayangkan saja kadang kala mereka menunggu seharian untuk mendapat sesuap nasi dari para pengguna jasanya pun tidak ada. Keadaan seperti ini tidak dipahami oleh pintu parkir, Rp 1000/Jam. Bagaimana jika motor para pengojek itu menganggur selama 5 jam barulah penumpang ada, sementara ongkos yang akan dikelurkan penumpang sampai ke tepi jalan yang kurang lebih 3 km jarak tempuh hanya di bayar Rp. 10.000,-. Berapa yang didapat tukang ojek ini, kawan bisa berpikir sendiri. Bagaimana pula jika jasa para tukang ojek ini tidak ada yang menggunakannya selama berdiam di lokasi ini. Kau tahulah kawan, orang-orang lebih suka melirik taksi dari pada roda dua ini. Tapi tetap saja kukatakan hal ini tidak menjadi kepusingan bagi pintu parkir. Tidak usah kawan tanyakan ,mengapa mereka tidak diberikan lahan parkir sendiri dan kartu parkir untuk mengontrol mereka. Bukankah mereka punya hak untuk menguras keringat di kota kelahirannya ini tanpa harus diperas pada sesuatu yang tidak memahami kehidupan mereka. Jawabannya satu, Kota ini ingin menjadi "Kota Dunia.