Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Izinkan Aku Menhadirkan Wajahmu, Kekasihku!

11 Februari 2011   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:42 500 1
Sebentar lagi, umat Islam di seantero jagad akan memeringati Hari Ulang Tahun (HUT) Nabinya yang ke-1485 (1432 H + 53 tahun usia nabi sebelum hijrah). Banyak hal yang bisa dipersembahkan untuknya sebagai kado ulang tahun itu. Tapi, kado-kado itu tak ada manfaatnya jika hanya sebatas dalam bentuk materi saja karena memang dia tidak memerlukan itu. Kecintaan yang dibuktikan dengan kesetiaan terhadap ajarannya tampaknya menjadi kado yang paling berharga baginya.

Lantunan salawat tampaknya masih tetap menjadi Kado Muhammad yang paling "murah meriah" dan mudah. Tentu kado-kado itu tak hanya sebatas diberikan begitu saja, tanpa ada rasa kasih sayang yang merindukan pertemuan dengannya. Entah kenapa dan apa istimewanya, yang jelas pertemuan itu menjadi dambaan setiap muslim. Bagi mereka yang pernah membaca nasihat dan petuah-petuahnya, sangat wajar jika dambaan itu menghampiri dirinya. Tapi, kenyataannya tak sedikit orang yang sama sekali tak pernah mendengar petuah tentang keutamaan melihatnya, pun juga tetap setia merindu dan menanti pertemuan dengannya.

Buat anda yang masih merindukan wajahnya, masih penasaran dengan kepribadiannya, sangat direkomendasikan membaca sirah dan hadis-hadis shamail. Hadis yang berisi tentang deskripsi sosok nabi Muhammad dari segi fisiki, psikis, dan akhlaqnya. Sifat-sifatnya terekam dalam catatan yang biasa dikenal dengan sebutan al-shama>'il al-muh}ammadi>yah. Hadis-hadis yang ada dalam rumpun tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk mengenal lebih dekat sosok nabi hingga kepada tingkat membayangkan postur tubuh atau keadaan fisik nabi saw sekalipun.

Bagi umat Islam, mengikuti segala yang bersumber dari nabi merupakan sebuah kemuliaan tersendiri yang diganjar dengan sepaket pahala karena telah melakukan perbuatan sunnah. Bahkan beberapa kelompok terlalu berlebihan dalam dalam mengamalkan sunnah nabi ini sehingga terkesan sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu muslim. Jika tidak, maka akan terperosok ke dalam jurang bid'ah, mengada-adakan hal baru dalam agama yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh nabi saw dan para sahabat atau al-salaf al-s}a>lih}. Lebih ekstrim lagi, klaim bid'ah tersebut kemudian berujuang pada sebuah stigma sesat yang pelakunya diancam neraka sebagaimana yang dipahami dari sebuah hadis nabi saw.

Upaya serius untuk mengikuti sunnah-sunnah nabi saw ini kemudian menuntut pelakunya untuk mengenal segala yang gaya, sifat, penampilan, sikap dan perbuatan nabi saw sehari-hari. Segala keterangan diperoleh tentang sosok nabi harus diikuti dan tidak boleh ditinggalkan. Maka, segala bentuk gaya dan penampilan fisik sekalipun, yang tidak sama dengan nabi harus segera diubah total dan kemudian disesuaikan dengan nabi saw. Cara berpakaian yang sebelumnya mengikuti tradisi lokal harus diubah menjadi seperti cara dan model berpakaian nabi saw. Ukuran rambut dan jenggot pun sedapat mungkin disamakan dengan nabi, tanpa melihat esensi sikap, sifat dan perbuatan nabi saw tersebut. Di satu sisi, semangat mengikuti nabi secara tekstual seperti ini sangat positif, namun di sisi lain juga ada beberapa hal yang perlu dibenahi, khususnya jika kemudian terjadi penyesatan yang berujung pada justifikasi neraka bagi yang tidak mengikuti nabi secara tekstual.

Meski demikian, bagi umat Islam, menggambar atau melukis apalagi membuat karikatur nabi saw adalah sebuah tindakan yang sangat tabu. Bagi sebagian besar umat Islam, -untuk tidak menyatakan semuanya- hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap nabi. Nabi yang begitu mulia terlalu sempurna untuk digambar dalam bentuk lukisan. Kesempurnaan nabi dari segi fisik maupun non fisik ini membuat setan yang ahli menjelma menjadi sosok tertentu sekalipun, tak mampu menyerupai apalagi menjelma sebagai sosok nabi saw. Apalagi sebuah lukisan yang sangat sarat dengan distorsi bentuk asli objek yang digambarkannya.

Oleh karena itu, tak satu pun buku-buku sejarah (si>rah) dilengkapi dengan ilustrasi gambar nabi saw. Hal ini berbeda dengan para sahabat yang dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar. Sementara nabi ketika diilustrasikan dalam bentuk visual, baik itu film atau gambar dua dimensi, selalu diperankan oleh cahaya yang terang benderang atau sekadar aksara arab yang membentuk nama Muhammad saw.

Memang, tidak ada dalilal-Quran (dan hadis langsung dari nabi) yang secara tegas dan pasti melarang visualisasi sosok rasulullah. Bahkan hadis-hadis banyak memberikan deskripsi yang cukup komprehensif tentang sosok beliau, baik dari segi fisik, maupun non fisik. Dalam hadis-hadis shamail, sosok Rasulullah digambarkan memiliki wajah tampan; matanya belo dengan hitam mata yang pekat dan putih mata yang bersih, bulu mata yang lentik, dan tampak seperti selalu memakai celak, padahal tidak; berjenggot lebat; memiliki dada yang bidang dan bahu yang tegap; berkulit bersih; lengan dan kakinya tampak kokoh; postur tubuhnya proporsional, tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek; tegap jika berjalan; jika ada yang memanggil, ia akan menengok dengan menghadapkan seluruh tubuhnya.

Singkatnya, Rasulullah adalah sosok gagah dan perawakannya sangat berwibawa. Secara fisik, ia memiliki postur tubuh yang cukup ideal, tidak memiliki cacat yang memungkinkan itu menjadi bahan olok-olok orang-orang yang memusuhi dan menentang risa>lah yang ia bawa. Sebab, sebagai risiko orang yang melawan arus, cacat fisik atau cacat moral sekecil apa pun pada dirinya bisa dibesar-besarkan sebagai alat propaganda untuk pembunuhan karakter agar orang-orang menolak risalahnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan al-Tirmidhi>, salah seorang sahabat bernama Ja>bir ibn Samurah menggambarkan pesona Rasulullah, "Malam itu begitu cerah. Kulihat Rasulullah menyelimuti diri dengan jubah merah. Lalu, kutatap bulan. "Menurutku Rasulullah lebih menawan (daripada bulan itu)." Kata Jabir.

Siapapun orangnya, ketika membaca hadis-hadis itu, pasti akan membayangkan sosok Rasulullah dengan deskripsi di atas, meski dengan perspektif yang berbeda-beda, dengan cara menghadirkannya di dalam pikiran dan menghayatinya di dalam rasa. Sementara mata hanya dapat merasa rindu rupa, dan penasaran ingin melihatnya langsung dengan terbuka. Demikianlah yag pernah dialami oleh Musa a.s yang penasaran dengan sosok Tuhan, ingin melihat-Nya dengan mata telanjang, setelah ia mendengar suara-Nya secara langsung. Namun, menolak permintaan Musa dengan cara yang sangat bijaksana. Dia tidak memilih hadir dalam rupa, tetapi dalam rasa, dalam jiwa, tak terpaku pada deskripsi dan simbol sehingga memungkinkan siapa pun untuk menghayati-Nya secara personal sesuai dengan kedalaman jiwa masing-masing.

Maka, demikian pulalah gambaran umat Nabi Muhammad saw merindukan pertemuan dengan-Nya, atau sekadar melihatnya dalam mimpi. Sungguh, di samping karena memang ada sebuah doktrin hadis yang menyatakan keutamaan melihat nabi, juga telah menjadi keniscayaan bagi umat Islam yang taat pastilah akan merasa mencitainya. Sebagai konsekuensi dari cinta itu, timbullah rasa rindu dan penasaran untuk bertemu. Maka, selama masa penantian dalam kerinduan ini, masing-masing memiliki cara yang berbeda-beda untuk sekadar membayangkan pertemuan dengan kekasih yang dinanti-nantinya itu. Ada yang dengan memperbanyak bersalawat sehingga merasa selalu ada di sampingnya. Ada pula yang dengan mengkaji dan menghayati serta kemudian mengamalkan hadis-hadisnya. Cara ini sangat efektif untuk mengenal nabi saw secara lebih dekat, bahkan siapapun dapat memasuki lorong waktu menuju "dunia masa nabi" melalui warisan hadis-hadisnya itu. Ini karena dalam hadis, juga banyak dikisahkan tentang peristiwa secara kronologis, lengkap dengan setting dan plotnya. Dengan menghayati hais-hadis yang ada, seseorang juga dapat membayangkan dan mengimajinasikan wajah rasul. Rasulullah seolah-olah hadir dan tergambar di jiwa. Orang buta sekalipun, dengan mendengarkan hadis-hadis ini juga akan selalu bisa menjumpainya, di mana pun, kapan pun. Tentu hal ini tidak akan didapatkan jika rasulullah saw tergambar nyata dalam lukisan, karikatur, bahkan audio visual sekalipun. Di samping, akan banyak mereduksi postur tubuh aslinya, penggambaran dengan cara seperti itu hanya dapat dinikmati oleh orang yang tidak buta saja. Itu pun, gambaranya juga sangat mungkin berubah-ubah.

Membaca kembali isu global terkait karikatur nabi, maka penting kiranya untuk dikaitkan dengan beberapa kasus induk dalam wacana keagamaan. Wacana global itu dapat dikaitkan dengan apa yang dirasakan oleh sebagian besar umat Islam terkait perasaan cinta, rindu, dan penasarannya terhadap rasul, kekasihnya. Sehingga kerinduan itu, membuatnya ingin mengenal lebih dekat dengan membaca biografi dan hadis-hadis shama>'il.

Sebagai sebuah karya seni, yang boleh jadi tidak ada kaitannya dengan agama, lukisan apapun boleh digambar. Hanya saja, dalam memahami makna gambar itu, masing-masing orang bisa berbeda, apalagi jika gambar itu membawa symbol-simbol keamagaan tertentu. Dalam kasus karikatur nabi Muhammad yang diekspos di berbagai media massa dan sempat menghebohkan dunia itu misalnya, banyak perspektif bermunculan. Ada yang memaknainya sebagai symbol kebebasan berekspresi, ada yang memaknainya murni sebagai karya seni, dan ada pula yang memaknainya sebagai sebuah penghinaan dan penodaan agama atau pencitraan negative terhadap tokoh agama.

Penafsiran yang berbeda lagi jika pengalaman pengamat gambar adalah sebagai seorang pengamal sulu>k sufi. Dalam tradisi sufi, dikenal istilah mah}abbah (cinta) yang senantiasa merindukan sang kekasih, dengan memperbanyak berdzikir atau mengingatnya. Dalam pengalaman sufi, terdapat beberapa macam perilaku seorang sa>lik ketika berdzikir. Di antaranya adalah perilaku khus}us} al-khus}u>s{ dengan dzikir ruhnya yang diiringi dengan musha>hadah (merasa diawasi oleh Allah). Dzikir semacam ini khusus bagi orang telah mencapai maqam 'a>rifi>n melalui fana> atas dzikirnya dan lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri serta anugerah yang diberikan kepadanya.

Mah}abbah merupakan salah satu pos dalam ajaran sulu>k sufi yang menjadi arena persaingan para sa>lik. Para sufi selalu berusaha menanamkan kecintaan ini dalam dirinya. Dengan mencapai mah}abbah ini, seseorang akan merasa tenang dan bahagia. Berkat mah}abbah ini pula, hati menjadi bersih dan tidak ambisius. Hal ini karena mah}abbah adalah "makanan pokok" jiwa seseorang (qu>t al-qulu>b). Karenanya, kahilangan rasa cinta (mah}abbah) ini, dapat mengakibatkan seseorang tersebut terbuai dalam kesesatan.

Dalam proses mah}abbah ini seorang sa>lik dituntut untuk banyak berfikir (tafakkur) dan bertadabbur. Terkait hal ini al-Ghaza>li> membagi tafakkur menjadi dua macama, yaitu tafakkur yang berkaitan dengan agama (ma> yata'allaq bi al-di>n) dan yang berkaitan denagan selain agama (ma> yata'allaq bi ghayr al-di>n). Tafakkur yang berkaitan dengan agama adalah tafakkur ketuhanan, yaitu segala hal menyangkut Tuhan, seprerti Dzat, sifat, dll. Jenis tafakkur ini terlarang menurutnya. Sementara jenis afakkur kedua yang berkenaan denagan selain agama (dengan sesama), adalah diperbolehkan. Caranya adalah menghadirkan segala yang dicintai oleh Tuhan ke dalam hati.

Satu hal dari kasus sufi di atas, yang hendak ditarik ke dalam permasalahan ini adalah bahwa mahabbah seorang pecinta membuatnya merasa rindu dan ingin bertemu dengan sang kekasih. Maka, sang pecinta Muhammad, pasti akan merindukannya dan mengharapkannya untuk bertemu dan bertatap muka. Apalagi didukung dengan adanya hadis-hadis tentang keutamaan orang yang melihatnya, serta hadis tentang ketidakmampuan setan menjelma sebagai dirinya. Maka, ketika seseorang bermimpi melihatnya, berarti seakan-akan atau sama halnya dengan melihatnya langsung di dunia nyata. Sehingga, kerinduan itu pun tak menutup kemungkinan untuk menghantarkannya pada perilaku membayangkan atau mengimajinasikan wajah rasulullah, meski ia belum pernah beremu sama sekali, baik dalam mimpi, maupun di alam nyata.

Membayangkan wajah nabi ini juga didasarkan pada kemuliaan nabi. Demikian juga membayangkan wajah orang lain, sebagaimana tradisi pengamal tarekat di atas, bahwa wajah yang enak dibayangkan merupakan kemuliaan yang dianugerahkan kepadanya. Bahkan, nabi saw menegaskan bahwa sebaik-baik orang adalah yang mukanya menyenangkan dan menenteramkan ketika dilihat. Maka, dengan hadis-hadis al-Shama>'il al-Muh>ammadi>yah itu seseorang dapat meingkatkan rasa cintanya kepada nabi Muhammad dengan semakin tumbuhnya rasa penasaran melihat wujud aslinya sebagaimana yang terilustrasikan dalam hadis-hadis itu.

Di hari-hari ulang tahunmu ini, ku mohon izin tuk menghadirkan wajahmu di hadapan mataku. Wajahmu yang telah menjadi milik seluruh umatmu, dan tak terkecuali diriku. Oh.... Muhammadku.... Muhammadku.... Nabiku... Aku rindu kepadamu.... Sekalian aku juga mohon izin tuk jadikan setiap hariku sebagai hari ulang tahunmu....

Sampai jumpa kekasihkku....!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun