DN Sarjana
Menikmati suasana pelabuhan tua Buleleng adalah kebiasaan Agung ketika masa kuliah sudah santai. Agung seringan tidak pulang kampung di masa seperti itu, kecuali ada keperluan yang sangat penting.
Sore itu matahari mulai terlihat redup karena sebentar lagi akan terbenam. Semburat warna jingga indah dipandang. Riak gelombang air tampak berkilau.
Memandang keselatan terlihat bangunan terpancang kayu menampakan kerlap-kerlip lampu warna kuning kemerahan. Bangunan itu memanfaatkan bekas tempat tambatkan perahu.Dikejauhan bebukitan pinggir barat Pulaki terlihat gagah berdiri.
Sore itu Agung duduk dipinggiran pantai pada sebuah warung sambil memesan es kelapa muda.Entah dari mana kenangan itu melintas. Bayangan Ayu mahasiswi yang pertamakali dia temui di pojok kantin kampus seperti datang mengusik dengan semua kenangan indah.Pikirannya melayang jauh.
"Boleh ikut duduk?" Sapa awal Agung sambil melirik perempuan lumayan cantik.
"Silahkan." Jawabnya singkat sambil terlihat mengisi kartu SKS berwarna putih.
"Rupanya gadis itu mahasiswi baru juga. Sama denganku," pikir Agung. Diapun sama, sibuk mengisi SKS.
Agung melihat perempuan disebelahnya sibuk mengibas-ngibaskan pulpen yang dia bawa. Agung tidak tahu apa yang terjadi. Dan Agungpun pikir tidak perlu tahu, karena belum saling kenal.
"Mas, boleh Aku pinjam pulpennya sebentar? Pulpenku macet. Lagi satu SKS saja." Tanyanya. Dan kesempatan itu Agung pergunakan menatap wajah perempuan itu lebih lama.
"Oo, boleh. Namaku Agung!" Sambil melepas pulpen yang ada dijemarinya.
"Eh, maaf ya Agung. Namaku Ayu. Terimakasih. Saya menyerahkan SKS dulu ya. Soalnya ditunggu oleh dosen pembimbing." Kata Ayu sambil tersenyum.
Agung asik sendiri menulis SKS. Kelamaan karena pikirannya bercabang ketika ada Ayu disampingnya.
Empat bulan berlalu, Agung tidak begitu mengingat lagi suasana saat pertemuan dengan Ayu. Namun hati Agung sulit untuk berbohong akan kerinduannya kepada gadis itu. "Apakah Aku pantas mencintainya? pikir Agung.
Entah dewi fortuna dari mana, tiba-tiba ia melihat Ayu sedang duduk-duduk membaca buku di bawah pohon ancak. Penampilan dengan dres putih berpadu warna pink terlihat sedikit berbeda namun tetap menawan.
Agung menatap sejenak. Ia merasakan degup jantungnya yang semakin kencang. Agung melangkah mendekat, mata mereka saling bertemu. "Hai, Ayu. Sudah lama menunggu?" sapa Agung memancing.
Ayu terlihat bingung. "Nunggu siapa? Aku tak ada janjian."
"Ya, nunggu Agung." Kata Agung keceplosan dan langsung duduk di samping Ayu.
Ayu bertambah salah tingkah, walau sikapnya terkesan menerima kehadiran Agung disisinya. Ayupun melepas senyumnya.
"Ayu, Aku telah lama berharap cinta darimu. Tapi memulai katakan itu terasa susah.Dan hari ini Aku katakan ssjujurnya."
Ternyata ucapan Agung seperti bertepuk sebelah tangan. Hampa tak ada kepastian. Sampai kemudian Agung harus berpisah atas kehadiran lelaki yang menjemput Ayu untuk naik di atas motornya.
Agung merasa seperti disambar petir di siang bolong. Sakit di dadanya menusuk jauh, jauh kedalam. Ternyata ketulusan cinta Agung harus jujur mengalah.
Hujan dibulan Juni terasa rewel. Beberapa kali Agung menggunakan payung pemberian ibunya ketika berangkat ketempat kos.
"Agung, aku ikut. Payungku kelupaan kemarin di kampus."
Suara renyah dari rumah nomer 9 jalan Mawar itu membuat hatinya berdegup. "Pertanda apa ini?" Pikir Agung.
"Ayu berani? Lagian payung ini kecil. Nggak cukup berdua." Sergah Agung menyembunyikan kegirangan dalam hati.
"Pokoknya Ayu ikut. Takut nggak kuliah. Dosen hari ini kiler banget. Ndak kuliah dua kali ancamannya nggak lulus." Jawab Ayu sambil berlari menuju tempat Agung berdiri.
Mereka kemudian melangkah di deras hujan. Jarak kampus bawah kurang lebih dua ratus meter. Tak ada pembicaraan serius dari Agung dan Ayu, kecuali cerita soal perkuliahan.
Namun hati Agung merasa tersiksa bila tak memastikan apakah cintanya pada Ayu harus tergantung? "Ah, Aku harus beranikan diri".
"Ayu, siapa lelaki yang menjemputmu waktu ini?"
"Kakak misan. Kebetulan dia dapat kuliah di kampus bawah. Namanya Putra. Dia jurusan matematika. Kalau tidak ada halangan, Agustus ini sudah ujian akhir. Dia ambil makalah. Katanya biar tidak ribet."
"Kirain?" Jawab Agung sambil menguatkan pegangan payuk. Rupanya hembusan angin cukup kencang.
"Kok terputus. Kirain siapa?"
"Kirain pacarnya."
"Ih, masih pusing ngikutin kuliah. Masak sih harus mikir pacar melulu!"
"Emang tidak boleh? Ayu kan sudah dewasa. Aku aja semester dua sudah punya yang baru."
"Lelaki emang gitu. Tidak cukup satu."
"Maksudku Ayu yang baru pertama singgah di hatiku." Jawab Agung sambil melepas senyumnya.
"Ah, gombal. Nggak mungkinlah perempuan percaya. Sekelas Agung, anak kampus dan pinter nggak punya. Pasti jadi rebutan."
Tidak terasa mereka sudah ada di depan kampus. Mereka harus berpisah untuk menuju ruangan masing-masing. Kampus yang terkenal dengan istilah kampus seribu jendela, memiliki model bangunan lama. Mungkin itu perkantoran jaman Belanda.
"Makasi ya Kak Agung. Lain kali kita bicara lagi." Kata Ayu sambil melepas pegangan tangan Agung. Ia juga merasakan getaran menjalar dari genggaman jemari Agung. Agung mengeratkan pegangan jemarinya, sambil melepas senyum.Tapi Agung harus rela melepas harapan cintanya pada Ayu yang baru bersemi.
"Akankah Aku bisa memiliki Ayu?" Kata hati Agung yang menatap gadis pujaannya menjauh dan hilang dalam pandangan.