Hantu Cantik Itu Kamu
DN Sarjana
"Ayuk, kamu dengar ndak suara anjing tengah malam kemarin?" Kata Ku sambil mengecet tempat bermain anak-anak.
"Aku tadi malam tidur pulas. Kemarin kan kita kerja cukup berat bersihkan Posyandu." Kata Ayuk sambil menyekat keringat di jidat.
"Pantes tidak dengar. Suaranya seram sekali. Pas kemarin kan Kliwon."
"Ih, Kamu jangan bilang itu lagi. Uh, aku jadi takut." Jawab Ayuk mendekati Daku.
"Tapi itu fakta. Aku dengar-dengar desa ini memang penuh mistis karena desa sangat terpencil"
"Ya, aku masih ingat pesan Bapak Kades agar kita selalu waspada. Tapi jangan menakut-nakuti aku."
"Ya udah. Selesaikan dulu menyapu. Pasti ditunggu teman lain di dapur."
Begitulah malam pertama mereka tidur di tempat KKN. Aku yang dipanggil Dewo, Indra, Deni, Satria, dan Ayuk, Ratih, Manik berada di satu tempat yaitu Wantilan Desa dengan kamar darurat yang berbeda.
Desa Bantih di kaki Gunung Batur. Tepatnya di Kecamatan Kintamani yang sudah kesohor. Tergolong desa tua, terletak diantara bebukitan diampit Pura Batur yang megah dan Gunung Batur menjulang. Dikejauhan tampak Danau Batur dengan warna air biru langit.
Begitulah malam pertama mereka lalui. Pagi ini mereka berkemas untuk tugas masing-masing.
"Teman-teman kita makan bersama dulu. Selanjutnya silahkan beraktifitas sesuai dengan target." Kata Indra yang menjadi kordinator.
Waktu terus berlalu. Mereka harus gantian diantar. Maklum, yang bawa motor hanya Dewo dan Indra.
"Dewo, kamu bonceng dulu Ayuk ya. Dia kan berdekatan kegiatan dengan kamu."
"Aku yang nganter? Bagaimana kalau Indra aja. Aku yang bonceng Ratih." Jawab Ku, walau dalam hati ada rasa syukur dapat bonceng Ayuk yang dia idolakan.
"Ya sudah berangkat. Ndak boleh rewel kayak anak kecil!"
"Waduh, tegas banget Indra." Pikirku sambil menyuruh Ayuk naik boncengan.
"Pelan-pelan Dewo. Jalannya jelek," kata Ayuk sambil mengencangkan pegangan di pinggang Ku.
"Ini sudah pelan. Tapi jalannya yang rusak." Dalih Ku.
Aku yang jurusan keguruan memang pas melakukan kegiatan menyasar anak-anak bersama Ayuk yang jurusan kesehatan masyarakat. Kami menata tempat bermain dan Taman Kanak-Kanak, serta melaksanakan pembinaan kesehatan lingkungan kepada masyarakat.
"Ayuk, kamu perhatikan ndak ibuk yang sudah usia itu. Tatapannya serem. Rambutnya seperti gimbal. Itu ciri-ciri,"
"Ciri-ciri apa? Pasti Kamu mengolok-olok Ayuk lagi." Kata Ayuk mendekat padaku.
"Na, kan. Permainanku sudah mulai nyangket." Pikirku.
"Nanti malam kamu harus hati-hati. Kelihatannya dia tidak suka pada kita."
"Dewo, kamu jangan teror Ayuk. Ayuk takut. Bisa-bisa Ayuk nggak mau tidur nanti malam"
"Tidur aja, kan ada Aku, Indra, dan yang lain."
Ternyata hari sudah siang. Mungkin karena awan yang tebal sehingga matahari tidak kelihatan. Masuk akal Desa Bantih adalah desa pegunungan. Pastilah curah hujannya tinggi.
Betul saja, diperjalanan menuju mes, Aku dan Ayuk diguyur hujan. Dibalik kedinginan, Aku merasa bersyukur karena tanpa diminta Ayuk menguatkan pelukan dipinggangku.
Kami sampai di wantilan dan semua basah kehujanan. Kami bergegas gantian mandi. Mataku jelalatan memandangi Ayuk. Tubuh tinggi semampai, berkulit putih. Tampak lekuk badannya karena pakaian yang digunakan basah semua.
"Uuh, Aku tak mau terbius hayalan itu." Pikirku, sambil menuju dapur membuat kopi untuk menghangatkan tubuh, sebelum dapat giliran mandi. Sebatang rokok ku hirup dalam-dalam. Usss, sangat nikmat. Pas dengan cuaca yang dingin.
Malam semakin malam. Hujan lebat tak ada tanda berhenti. Bersamaan dengan itu, listrik rupanya padam. Jadilah suasana wantilan desa cukup gelap. Kami hanya mengandalkan penerangan dari senter, sehingga suasana remang-remang.
Rupanya, teman perempuan ketiganya tidak berani di mes mereka. Kamipun berkumpul bersama. Kenapa ya, Aku hanya fokus pada Ayuk aja? Ratih dan Manik juga cantik.
Akal bulusku mulai bangkit. Aku harus buar permainan, biar Ayuk makin dekat denganku. Pada kesempatan itu:
"Indra, kamu lihat ndak api bergoyang-goyang itu?"
"Mana ada api? Ah, itu bukan api jadi-jadian. Itu semacam obor yang diterpa angin." Jawab Indra cukup keras.
Aku perhatikan Ayuk yang duduk agak jauh dibelakangku mulai mendekat. Juga Ratih dan Manik.
"Itu lagi. Perhatikan. Bayangan hitam bergerak seolah terbang di pepohonan." Bisikku kepada Indra.
"Aku takut Indra. Bagaimana sekarang? Kita sembunyi di mana?" Kata Ayuk disertai anggukan Ratih dan Manik.
Aku berusaha berbisik kepada Ayuk.
"Ayuk sembunyi di dadaku saja." Seketika Ayuk diam-diam menjimpit lenganku. Tak satupun suara terucap.
Indra yang memang lumayan berani berdiri mendekat pada sumber api dan bayangan hitam itu. Walau masih lumayan jauh, tapi bayangan itu nampak lebih jelas. Indra tidak lama lalu berbalik.
"Teman-teman, ndak usah takut. Api itu semancam obor yang dibawa nelayan mencari ikan di Danau Batur. Perahu dan orang di dalamnya seolah terbang dan bergoyang karena api obor yang bergerak."
"Benarkah itu Kak Indra?"
Indra pun tersenyum sambil mengangguk. Dan beberapa menit listrik menyala kembali. Kami bersamaan berteriak.
"Nah, kan bukan hantu Dewo. Itu lampu biasa." Kata Ayuk saat berkemas mau ke mesnya.
"Tapi pandanganku tadi malam sangat beda. Aku melihat hantu cantik. Kayaknya Dewi Danu cantiknya."
"Masaksih? Syukur aku tidak melihat. Kalau ya, pasti aku teriak histeris." Kata Ayuk serius.
"Hantu itu adalah dirimu Ayuk. Kamu yang menghantui rasa cintaku."
"Uh, gombal. Sana tidur, besok kita kerja lagi."
Aku memegang erat tangan Ayuk, sambil berucap "Jangan hantui perasaan cintaku Ayuk."
Ayuk terdiam, tapi memberi isyarat dengan senyuman.
.