"Eka, aku tak kuat dalam kehidupan seperti ini. Kalau boleh aku minta, kamu tidak usah ikut dalam perkumpulan motor. Kita ini pelajar. Masih meminta belas kasihan orang tua untuk sekolah." Kata Vini, saat remang malam mulai menggelayuti tubuh mereka. Udara malam yang mulai terasa dingin justru memberi kehangatan mereka berdua. Berpelukan dan sesekali berciuman mereka pikir hal biasa karena usia mereka sudah remaja dan sebentar lagi mau tamat SMA.
Nongkrong di warung Mbok Sumiyem, hampir setiap sore mereka lakukan untuk melepas kepenatan setelah belajar sekolah. Bagi orang tua Vini, tidak ada masalah dia berpacaran dengan Eka. Tidak tahu bagi keluarga Eka sendiri.
"Vini, aku mengerti perasaanmu, karena kamu perempuan. Rasa was-was akan keselamatanku pasti selalu bergelayut. Percayalah, aku bisa kok membawa diri."
"Tapi, kamu mesti mikir diriku eka. Aku akan sangat kehilangan, bila kau jauh dariku. Apalagi selama ini aku sekian tahun berpisah dengan ibu." Suara parau tapi seakan ingin menjerit keluar dari mulut Vini. Air matanya tak mampu ia tahan. Sekalian ia merebahkan kepalanya di dada Eka.
Vini, gadis manis di sekolah itu memang menjadi rebutan siswa laki-laki. Gadis dengan ukuran tubuh kira-kira 167cm dan berat 40an, adalah ukuran bodi yang sangat ideal. Belum lagi lentik bulu mata serta rambutnya yang sedikit ikal teruntai setinggi bahu.
Malam semakin malam. Dua tiga kali mobil melintas di depan warung tempat Eka dan Vini menikmati camilan. Laju kendaraan bermotor dengan siaran ngebrong, sesekali menggoda dihadapan mereka.
"Sudahlah. Jangan terlalu banyak mikir Vini. Aku kan selalu waspada. Dan akupun akan melindungi dirimu sampai akhir. Apapun yang terjadi." Eka mencium tangan Vini dengan lembut. Jemari putih bersih itu seakan bergetar namun lembut untuk dipasrahkan kepada Eka.
Vini begitu lama memandangi Eka. Ia seolah melihat sesuatu yang sangat rahasia yang disembunyikan Eka. Itulah sebabnya Vini memendam perasaan itu sangat mendalam.