Cerita ini terkuak, ketika selebaran koran bekas pembukus baju tergeletak di halaman rumah. Ditempatkan di headline news, mendorong keinginan membaca. Bayangan jalan peristiwa itu terurai.
Rani, perempuan setengah baya. Paling banter umurnya 35 tahunan. Rani seorang sales pada dealer kendaraan yang merknya cukup laris. Terletak di pusat kota provinsi, pastilah dealer itu termasuk toko kelas elit.
Lalu bagaimana dengan Rani? Dia perempuan cantik. Kulitnya kuning langsat dengan tinggi badan 165an dan berat paling 55 kg, membuat penampilannya sangat pas. Senyum manis berhiaskan lentik bulu mata dan rambut yang sedikit di cat merah sebahu, setiap orang pasti tertegun. Memiliki seorang anak umur 3 tahunan, Rani ditempatkan sebagai sales terdepan. Dialah yang pertama mengumbar senyum kepada calon pembeli.
Selama bekerja ditempat itu tak satupun isu miring yang menimpa Rani. Walau dia harus ramah, dan pastinya banyak bicara, tapi soal urusan asmara ia mampu menutup rapat.
Namanya saja perempuan cantik, pastilah gunjingan miring tentang keharmonisan rumah tangga Rani tersiar juga. Konon suaminya yang bekerja serabutan kalah saing dengan penampilan Rani. Apakah juga kalah dalam memberikan kasih sayang? Entahlah.
Sesekali Rani memang pernah minta ijin pulang duluan kepada bosnya. Rani beralasan anaknya menangis di rumah.
Sampai suatu hari bos ditempatnya bekerja merasa curiga akan gerak-gerik Rani yang sering kelihatan gelisah.
"Bu Rani, maaf hari-hari ini kelihatan kamu menyimpan sesuatu. Penampilan kamu yang biasanya ceria dan tenang, tapi kali ini kau kelihatan gelisah." Tanya bos dealer sambil memandangi Rani yang duduk berhadapan.
Sedikit memaksa senyumnya biar mengembang Rani menjawab.
"Maaf pak, jujur saya katakan saya sedikit ada masalah." Sampai disitu Rani menunduk. Kelihatan dia menahan air matanya agar tidak keluar.
"Boleh aku tahu?" Tanya bos Rani yang bermata agak sipit. Tahulah pengusaha sukses di negeri ini adalah mereka yang menguasai perdagangan di seantero dunia.
Rani diam sejenak. Ia mempermainkan pulpen ditangannya untuk mengusir perasaan risau.
"Maaf Pak. Ini sangat pribadi. Lain kali Bapak pasti tahu." Jawab Rani agak gugup.
"Ooo, kalau begitu Bapak minta mohon fokus bekerja. Kamu karyawan saya yang sangat handal. Kalau masalahnya dari perusahan mohon diutarakan. Soal gajih misalnya."
"Tidak, tidak Pak. Saya nyaman bekerja disini. Bapak sudah banyak memberi perhatian. Untuk nafkah, Saya rasa sudah cukup."
"Baik kalau begitu. Sudah cukup. Silahkan keluar. Tetap hati-hati ya."
Rani menjulurkan tangannya yang putih mulus, dan terus melangkah keluar dari ruangan bosnya.
Namun dibalik langkahnya, Rani merasa menyesal karena menyimpan rahasia yang bisa mencelakakan hidupnya. Tapi kalau disampaikan? Ia akan sangat malu dan takut kalau dikeluarkan dari perusahannya.
Begitulah hidup Rani semakin bimbang. Rani menyesal sudah berani bermain api.