"Apakah Rio pernah bercerita tentang pekerjaannya?"
Polisi yang duduk dihadapan Utari bertanya dengan sangat serius. Utari menjawab apa adanya.
Semenjak perkenalannya dengan Rio 6 bulan lalu, Utari hanya tahu bahwa Rio itu orang baik. Setiap malam minggu, Rio pasti datang ke rumah kosnya. Rio kemudian mengajak Utari jalan-jalan.
Rio lelaki ganteng. Siapa yang tidak tergoda. Penampilan yang selalu kren, membuat Utari gadis lugu dan polos, kesemsem juga pada ketampanan Rio.
Utari masih ingat ketika pertama kali Rio mengatakan cintanya pada Utari.
"Utari, aku telah mengenalmu 2 bulan lalu. Setiap bertemu, aku selalu katakan cinta padamu. Tapi tak sekalipun kamu pernah menjawab pernyataan dariku."
Malam itu Utari merasa keselek. Ia juga tak ingin mengecewakan Rio terus menerus.
"Mas Rio, berikan aku berpikir. Mengucapkan cinta itu gampang. Tapi menjaga rasa cinta itu yang sulit."
Karena keinginan Rio menjadikan Utari sebagai pacarnya, ia memberanikan mengajak Utari jalan-jalan.
"Sudah siap Utari? Naik kemotorku.Kita jalan-jalan seputaran Pantai Kuta."
"Tapi jangan sampai kemalaman ya Mas Rio. Aku takut pintu pagar dikunci tuan rumah."
Rio mengiyakan. Utari lantas naik keboncengan. Ia menikmati perjalanan itu begitu indah. "Apakah cintaku pada Rio mulai tumbuh?" Pikirnya.
Gemerlap lampu lapak jualan di pantai Kuta terlihat indah warna warni. Suara musik bersahutan menambah hiruk pikuk kehadiran para wisatawan.
Desiran angin pantai dan deburan ombak menjadikan malam itu begitu sejuk. Utari dan Rio menikmati kopi yang mereka pesan sebelumnya.
Itu pertama Utari bermesraan dengan Rio, sampai akhirnya Utari menjatuhkan pilihan untuk berpacaran dengan Rio.
Saking percayanya dan Utari Yakin kebaikan Rio, Utari tidak sempat menanyakan apa pekerjaan Rio.
Sampai akhirnya Utari dipanggil ke kantor polisi, mengabarkan bahwa Rio sedang berada di rumah sakit. Rio terkena tembakan saat penggebregan kasus peredaran narkoba.
"Apa? Aku tak percaya Pak Polisi. Rio orang baik. Aku lama mengenalnya. Sekalipun ia tidak pernah melakukan tindakan yang aneh-aneh."
Utari menyangkal pernyataan polisi.
"Mbak Utari. Rahasia hidup seseorang terkadang tidak semua kita ketahui. Orang bersuami istri saja kadang belum semua diketahui. Apalagi masih pacaran."
"Mengapa harus saya terlibat Pak?
"Bukan terlibat Mbak Utari. Kami kepolisian tidak bisa berbuat lain kecuali Mbak yang ikut menjaga Rio. Kami sudah melaporkan kasusnya kepada keluarganya. Mereka tidak ada yang mau hadir?"
"Apakah Dia anak buangan Pak?"
"Saya tidak berprasangka begitu. Kami mohon bantuan Mbak Utari. Mari bersama ke rumah sakit."
Perasaan Utari sangat sedih. Mengapa nasib Rio begitu sial? Mengapa keluarganya rela membuang begitu saja?
Tanpa berpikir panjang Utari naik mobil polisi menuju rumah sakit. Alangkah terkejutnya Utari ketika ia diajak melihat Rio di sal penyakit bedah.
Rio terkapar tak bergerak. Dadanya terbalut perban. Demikian juga pahanya. Dibibirnya terpasang alat bantu pernafasan. Selang infus bergelantungan di tangan Rio. Tidak cukup sampai disitu. Kedua tangannya juga di borgol.
Utari berusaha menyembunyikan air matanya. Tapi itu tak bisa ia lakukan. Utari menangisi kekasihnya yang bernasib sial.
"Utari, kami mohon maaf Rio keadaan seperti ini. Ia terkena tembakan di dada dan di paha, karena melawan saat dilakukan penangkapan. Rio termasuk pengedar narkoba kelas kakap."
Sampai disitu, Utari tidak mampu menahan rasa untuk melawan.
"Tidak mungkin Pak Polisi. Tidak mungkin. Aku tahu siapa Rio."
Utari mendekati Rio dan mengusap-usap pipinya. Doa dia lantunkan agar Rio bisa diselamatkan.
"Mbak Utari, mohon bersabar. Semua perawatan Rio ditanggung negara."
"Tapi Utari tak percaya." Utari menjerit sambil mengguncang badan bapak polisi.
"Mbak Utari. Biarkan dulu semua berjalan. Semoga Rio cepat sembuh. Disana akan ada persidangan sebagai pembuktian."
Bapak polisi meninggalkan Utari sendirian. Sementara Utari meyakinkan dirinya. "Apapun yang terjadi cintaku pada Rio tak kan pupus". Kata hatinya sambil mengusap air matanya.