Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sebelum Ramadan

25 Maret 2024   17:03 Diperbarui: 25 Maret 2024   17:18 125 7
Sebelum Ramadan
DN Sarjana

"Ibu tidak boleh pergi. Aku tak mau sendirian. Aku sayang ibu."

Tangis Selasih ketika menatap ibunya berbaring lemah. Ia berusaha menahan biar tidak terdengar oleh ibunya. Tiga hari sudah, ibunya berbaring lemah. Selama itu pula Selasih menanti kehadiran seseorang yang disebut ayah.

Dalam bilik ukuran 4x5, Selasih menjalani hari-hari begitu pilu. Bersama seorang ibu yang tabah dan bijaksana. Setiap Selasih bertanya soal ayah. Ibu selalu menjawab sabar nak.

Diusia ibu sudah 60 tahun. Beliau begitu tabah menghadapi hari puasa. Setiap hari ibu masih menyiapkan jualan jajanan untuk menyambung hidup keluarga.

Hebatnya, setiap hari jumat di bulan ramadhan ibu menyediakan kurang lebih 20 bubur yang diberikan kepada anak yatim piatu tidak jauh dari tempat kami indekos.

Selasih sudah lama minta ibu berhenti bekerja. Cukup mengerjakan pekerjaan di rumah, karena Selasih sudah cukup mendapat uang untuk menutup bulanan.

"Bu, sebaiknya Ibu berhenti jualan. Selasih kan sudah dapat gajian. Sudah cukup untuk kita makan berdua."

"Asih, Ibu mengerti maksud nak, agar Ibuk lebih banyak dapat istirahat. Tapi Sih, Ibu kurang suka diam saja."

"Tapi ibu sudah tua. Apalagi di bulan puasa."

"Nanti kalau Ibu tidak mampu, pasti Ibu nurut."

Sering saran itu Selasih sampaikan kepada ibunya, sampai kemudian ibu jatuh sakit.

Hari terus berlalu. Hari suci ramadhan makin dekat. Sementara ibunya, Selasih kondisinya tidak kunjung membaik.

Walau beliau sudah bisa makan bubur sedikit, namun kondisinya masih lemah. Selasih dalam keseharian terus berdoa, agar ibunya sehat kembali.

Tiga hari sebelum bulan ramadhan, tiba-tiba Selasih dikejutkan oleh kehadiran dua orang laki-laki. Satu seumuran ibuknya. Satu lagi mungkin lebih tua lagi 3 tahun dari Selasih.

"Maaf ini rumah kos Ibu Selasih?" Ujar Bapak yang rambutnya sudah memutih.

"Betul Pak."

"Ibu ada?"

"Ada pak. Ibu saya terbaring sakit."

Baru berkata seperti itu, orang tua itu kelihatan sedih. Ia kemudian berbicara dengan  laki lainnya. Tidak terlalu lama, datang ambulan menjemput ibu.

"Sebentar pak! Bapak siapa?"

"Nanti kita bicara nak. Sekarang ambil pakaian ibu secukupnya. Kita bawa ibu ke rumah sakit. Sudah ada petugas dengan perlengkapannya."

Waktu begitu cepat berlalu. Selasih tidak bisa berpikir banyak. Setelah semua aman barulah bapak itu bercerita.

Sesungguhnya Ibunya adalah istri dari bapak itu. Hanya karena ada masalah dengan mertua, beliau tidak mau hidup serumah. Kejadian itu semasih aku berumur 5 tahun.

"Selasih, Aku ini Bapakmu. Itu kakakmu Radho. Wajar kamu tidak tahu karena kita berpisah saat kau masih kecil. Hubungan Bapak dengan Ibu, baik-baik saja, karena bapak juga minggat dari rumah."

Ya, Tuhan. Aku hampir tak percaya. Benarkah kejadian ini? Begitu besarkah ridho yang Tuhan berikan di bulan puasa ini?

Selasih tak berpikir panjang, setelah ayahnya menunjukkan akte perkawinan, dan juga poto-poto ketika dia masih kecil.

Selasih memeluk ayahnya erat-erat. Tangisnya tak bisa dibendung. "Ternyata sebelum ramadhan cobaanku telah berakhir," pikirnya sambil memeluk ayahnya erat-erat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun