Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

pensil atau penghapus?

13 November 2011   13:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:43 157 0

Kau tawarkan antara pensil atau penghapus. Saat ini kau kembali lagi sebagai lelaki yang tiada duanya. Sebenarnya kau hanyalah masa laluku yang memang indah. Keputusan terdahulu agaknya membuatku sakit sejenak namun kau datang mengobatiku. Karenanya aku mengatakan bahwa kau datang membawa pensil serta penghapus. Itu terserah aku mau memilih yang mana sebab kau tak memaksa untuk memberatkan diantara kedua pilihan tersebut. Tapi kau sudah masuk lagi dalam hidupku. Bagai pelangi yang terus mewarnai dan mendinginkan dengan hujanmu. Lalu kau semburatkan warnanya. Kau terus membasahi semua ladang hatiku yang mulai layu sementara kau hadirkan kupu-kupu berwarna yang terbang bebas di angkasa. Pada senja, kau perlihatkan bagaimana mentari yang terlahap oleh petang. Para gerombolan kambing yang sedari tadi berjalang di ladang menemui tidurnya. Dan kau membawa bintang serta bulan mengangkasa di lembah tidurku. Kita tidur bersama sembari menikmatinya. Hari ini kau telah berhasil merebut hatiku kembali yang sempat hilang. Namun disadarku, masih tersimpan bimbang. Kata mereka sembari mengulang peribahasa khas SD, “Tupai tidak akan jatuh di lubang yang sama”. Terus-menerus kusadari diriku ini bahwa lelaki yang memegang tanganku sekarang pernah melukaiku. Namun dia juga yang telah datang mengobatiku. Impas bukan? Sekarang aku benar-benar belajar, bagaimana pentingnya logika daripada perasaan. Bagai buah simalakama, jika aku menyuruhnya membawa pensil, maka ia akan menggores-lanjutkan kembali cerita kita. Namun aku takut, jika saja, keadaan menghendaki kami kembali terputus. Ini yang kedua kalinya ia memasuki hidupku, lagi-lagi tanpa permisi. Mungkin sebaiknya kali lain, aku memasang bel di dalam hatiku. Aaah, lelaki ini, begitu menyita pikiranku selama ini. Dan jika aku memutuskan untuknya membawa penghapus, maka hubungan kita akan benar-benar sebenar-benarnya sudah berakhir. Kemudian aku mencari lelaki lain dan ia mencari wanita lain. Kita tidak akan pernah bersatu apalagi menikah. Padahal umurku hampir 25, waktu yang setidaknya ideal bagi wanita melepas masa gadisnya. Sedangkan ia, lebih tua dariku dua tahun, lelaki yang ideal pula bagiku, menjadi imamku kelak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun