Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Awas, Batauga Terancam Tenggelam

18 Oktober 2015   12:17 Diperbarui: 18 Oktober 2015   13:59 132 2
“Total luas daratan di Batauga yang hilang dan menjadi lautan mencapai perkiraan 210 hektar,”kata La Ode Mpute, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara.

GEMURUH suara mesin diesel truk, kepulan debu bercampur asap hitam knalpot sudah menjadi sarapan sehari-hari warga di sepanjang jalan poros Batauga, Kabupaten Buton Selatan.

Puluhan bahkan ratusan truk bermuatan pasir hitam, kerikil dan batu untuk pondasi, setiap hari hilir mudik menebar polusi ke pemukiman warga yang dilewatinya di sepanjang jalan poros Batauga.

Namun dibalik kebisingan dan tebaran polusi itu, terselip harapan mengais rezeki bagi sebagian besar warga Batauga.

Di sepanjang jalan poros Batauga, terlihat warga yang bergerombol terpencar di sejumlah titik. Sebagian besar terlihat memanggul sekop. Ada juga yang menenteng keranjang rotan atau karung plastik. Wajah-wajah keras dengan rahang persegi terlihat ceria bersenda gurau dengan rekan-rekannya. Mereka adalah para penambang pasir di sepanjang pantai Kelurahan Bandar Batauga, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.

Udin, salah satu penambang pasir, memilih tak ikut bergabung dengan rekan-rekannya. Ia lebih suka bercengkerama bersama istri dan ketiga anaknya. Kelima anak beranak itu, semuanya berprofesi sebagai penambang pasir.

Akrab dipanggil Bapaknya La Nggai, Udin terlihat mengeluarkan segepok uang kertas dari saku celana yang sudah tak jelas apa warnanya. Uang itu lalu ia serahkan kepada istrinya yang menyambut dengan senyum.

Istri Udin yang mengenakan topi caping untuk menghindari sergapan panasnya matahari lalu menghitung uang itu. “Nggai, kau belikan dulu kopi untuk bapakmu,” kata istri Udin usai menghitung uang.
Duduk di atas tanah tanpa alas sambil menyelonjorkan kakinya yang dekil, Udin mulai berkisah. Uang yang barusan ia serahkan kepada istrinya itu merupakan hasil menambang pasir selama tiga hari di pantai Bandar Batauga. Sudah lima tahun ia bersama istri dan ketiga anaknya menekuni profesi itu.

Untuk pesanan pasir yang akan dimuat truk kapasitas empat kubik, Udin yang dibantu istri dan ketiga anaknya mampu memenuhinya selama tiga hari. Harga pasir satu truk sebesar Rp. 1 juta. Dari jumlah itu, Udin mendapat bayaran sebesar Rp. 250 ribu. Sedangkan sisanya adalah jatah pemilik lahan tambang pasir dan untuk membayar pajak di pos retribusi.

"Setengah mati memang makanya saya berharap anak cucuku tidak mengikuti jejakku," kata Udin lirih.

Tak mengenal air laut pasang atau surut, aktifitas penambangan pasir di Bandar Batauga yang sudah berlangsung sejak tahun 1972 ini semakin ramai. Jika laut pasang, para penambang pasir ini harus berenang untuk menaikkan butiran pasir dari dasar laut.

Awalnya, penambangan pasir itu yang terpusat di sepanjang pantai Kelurahan Bandar Batauga. Namun kini semakin meluas hingga meliputi tiga kelurahan yakni Busoa, Bandar Batauga dan Masiri. Bahkan, melebar hingga ke Kecamatan Sampolawa yang bertetangga dengan Kecamatan Batauga.

Salah satu pemilik lahan penambangan pasir di Kelurahan Bandar Batauga, La Ata mengatakan, ia menjual pasir per truknya seharga Rp. 1 juta. Dari jumlah itu, ia harus membayar Rp. 300 ribu untuk tiga orang kuli angkut dan Rp. 250 ribu untuk penambang pasir.

“Sisanya jatah saya, sewa angkutan truk dan untuk pembayaran pajak di pos retribusi,” katanya sambil mempersilahkan penulis untuk memesan kopi.

Menurutnya, di lokasi penambangan pasir miliknya, dalam sebulan tidak menentu jumlah pasir yang terjual. Namun paling sedikit dalam sebulan jumlah pesanan pasir mencapai 10 truk.Tapi bila musim proyek pembangunan fasilitas umum, pesanan pasir bisa lebih dari jumlah itu.

La Ata mengakui, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari akibat penambangan pasir. Namun demi memenuhi kebutuhan sehari-hari terpaksa dilakukanya. Sejauh ini belum ada himbauan ataupun larangan penambangan dari pemerintah.

"Tidak ada larangan," katanya singkat.

Bila nantinya ada larangan penambangan pasir dari pemerintah, La Ata mengaku hanya bisa pasrah saja. Namun ia berharap pemerintah memberikan lapangan pekerjaan lain bagi para penambang, kuli angkut dan dan pemilik lahan pertambangan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari dan kehidupan rumah tangga dapat terpenuhi.

Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, Saharuddin mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah banyak mendapat laporan soal kerusakan lingkungan wilayah pesisir di Kecamatan Batauga. Warga sudah terganggu juga karena takut abrasi pantai.

"Bila dibiarkan terus pasti akan memperbesar daya rusak lingkungan utamanya di pesisir. Pemukiman, sekolah dan fasilitas pemerintah atau bahkan daratan Kecamatan Batauga akan hilang akibat abrasi ,” katanya.

Meski demikian, upaya penanggulangan tidak cukup hanya diinisiasi oleh pemerintah saja. Masyarakat setempat juga harus ikut mengambil peran kerusakan lingkungan itu akan mempengaruhi keberadaan pemukiman mereka di Batauga.

Menambang, kata Saharuddin, pasti merusak lingkungan. Jadi bagi para penambang itu harus ada solusi alternatif pekerjaan selain menambang mereka juga bagian dari ekosistem sebuah lingkungan. Pemberian sanksi itu bukan solusi, menghentikan pertambangan itu solusi untuk lingkungan.

"Kita belum tahu mau kemana rencana pembangunan jangka menengah Pemerintah Kabupaten Buton Selatan. Harapan kami, pemerintah bisa menyelesaikan masalah lingkungan di Batauga tetapi juga memberikan alternatif lahan ekonomi baru bagi para warga mantan penambang yang sebelumnya bergantung hidup dari penambangan pasir," katanya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral Busel Ir La Ode Mpute mengatakan, pihaknya memperkirakan, setiap bulan sebanyak 0,4 hektar kawasan pantai di Kecamatan Batauga yang merupakan ibukota Kabupaten Buton Selatan, rusak akibat penambangan pasir.

Jika dihitung sejak tahun 1972, awal mula penambangan pasir di Batauga, hingga tahun 2015,berarti penambangan pasir itu sudah berlangsung selama kurang lebih 43 tahun. Bila 43 tahun dikali 12 bulan berarti sama dengan 516 bulan. Angka 516 bulan itu jika ditambah dengan perkiraan 0,4 hektar, total luas daratan di Batauga yang hilang dan menjadi lautan mencapai perkiraan 210 hektar.

“Kami sudah berkali-kali mengingatkan warga akan bahaya dari penambangan pasir itu. Tapi warga sendiri tak peduli karena terkait dengan mata pencariannya,” kata Mpute.

Untuk mengontrol kegiatan penambangan pasir yang semakin liar, Mpute yang mantan Camat Kadatua ini mengaku, pihaknya sudah menerbitkan aturan yang mengharuskan setiap usaha penambangan pasir harus mengantongi surat Ijin Penambangan Rakyat (IPR). Selain itu, pemilik lahan tambang, penambang, kuli angkut, pembeli pasir, supir truk dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan penambangan pasir itu harus memiliki kartu pengendali yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Buton Selatan.

"Bahkan kami memberikan kemudahan mengenai pengurusan syarat kewajiban IPR dan pendaftaran kartu pengenal dapat menghubungi Dinas Pertambangan," tuturnya.

Menurut La Ode, jumlah usaha penambangan pasir yang berhasil didata pihaknya di Kecamatan Batauga sebanyak 46 usaha. Dari jumlah itu, hanya satu yang sudah memiliki izin resmi.

Untuk mengatasi terjadinya abrasi akibat penambangan pasir tersebut, para pemilik usaha penambangan pernah diminta untuk membangun talud di sepanjang bibir pantai Batauga. Namun hal itu juga tak berhasil. Hanya satu atau dua pemilik usaha penambangan pasir yang melakukannya.

Mpute mengatakan, pihaknya masih memilih langkah persuasif untuk menghentikan penambangan pasir tersebut. Ia khawatir, jika dilakukan tindakan tegas akan muncul konflik sosial.

“Kami masih berharap masyarakat mau sadar dan menghentikan penambangan pasir. Jika penambangan itu tak juga dihentikan, yang rugi nantinya mereka sendiri,” kata Mpute.

Entah ingin meniru Provinsi Bangka Belitung yang sukses menjadikan lahan bekas penambangan timah menjadi tempat wisata, La Mpute mengatakan, ada usulan untuk menjadikan lokasi-lokasi bekas penambangan pasir di Kecamatan Batauga diubah menjadi tempat wisata.

Menurut dia, usulan itu kini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Buton Selatan. Namun untuk melaksanakannya tetap saja tak mudah. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan secara total penambangan pasir di Batauga.

“Lubang-lubang bekas galian pasir itu bisa diubah menjadi kolam pemancingan atau dijadikan tempat olahraga dan wisata air,” katanya sembari menambahkan, khusus di bibir pantai nantinya pemerintah kabupaten akan membangun talud dan beton pemecah ombak.

Usulan itu, kata Mpute, sudah disampaikan ke kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif di Jakarta. Kabarnya, usulan tersebut disetujui dan dijanjikan pembiayaannya akan dibantu melalui APBN.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun